Addunya mata'un,wa khaiyru mata'iha al Mar'atus Shalihah

Sabtu, 13 Desember 2014

Ada Yang Baru Niiih....

Adda yang baru lagi nih buat temen-temen. Silahkan dinikmati.
Cerita-cerita akan segera menyusul. Tentu akan ada banyak keseruan yang menanti.
Nah, dari cerita-cerita yang beruarai kalian akan dapat mengenali siapa dan bagaimana karakter penulis yang sesungguhnya.
Nantikan yaaa episode selanjutnya. Doakan semoga penulisnya bisa terus menulis dan menulis lagi. :)

KISAH KEMARIN



Hari ini aku berkunjung ke rumah sakit. Sengaja. Aku datang kesini karena dua alasan, pertama karena aku ingin menengok temanku yang beberapa hari lalu melahirkan buah hatinya, dan yang kedua mengantar saudaraku check up seperti biasanya.
Setelah menemani saudaraku periksa, sebut saja dia Ukas, kami melangkah ke ruang pengambilan obat. Entahlah aku tidak tahu pasti apa nama ruangan itu, yang jelas setelah dokter cantik itu menyodorkan selembar kertas kepada Ukas, dia segera menarik tanganku, belum sempat aku bertanya, kami sudah berdiri didepan antrian yang begitu panjang. Kami berdiri  cukup lama disana, aku cukup lelah berdiri sedari tadi, ku lirik sekitar ruangan ini, sudah tak ada kursi yang kosong lagi. Akhirnya aku menemukan satu kursi kosong bekas kakek tua, yang kira-kira usianya sudah 70 tahun. Ku suruh Ukas untuk duduk di kursi itu, ia juga terlihat sama lelahnya seperti diriku, tapi ia hanya menggeleng. Ku rasa Ukas takut bila harus mengantri dari awal jika ia duduk. Akhirnya ku temukan ide.
“Bu, permisi, boleh saya minta tolong?!” tanyaku pada seorang Ibu dibelakangku. Dengan dress biru muda berenda yang dikenakannya, Ibu itu terlihat anggun. Senyumannya membuat ia bak malaikat di gelapnya malam.
“Iya, ada apa nak” jawabnya pelan. Teduh sekali mendengarnya
“Begini Bu, kami sedang mengantri obat disini,” ku rangkul pundak Ukas. “tapi dia sangat kelelahan berdiri disini, dan dia ingin duduk di kursi kosong itu”, ku tunjuk satu kursi kosong dipojokan. “tapi dia takut bila dia duduk dia harus mengantri dari awal lagi, dan saya tidak bisa  menggantikan dia untuk mengantri disini, saya harus mengunjungi teman saya yang dirawat disini juga. Jadi kalau boleh, jika antrian didepan sudah berkurang, Ibu berkenan memanggil Ukas, agar ia bisa mengantri lagi disini.”
 “Ohh, Iyaa, silahkan, dari pada nanti tambah sakit.” Jawaban yang aku tunggu dari tadi.
“Terima kasih banyak Bu..” ku berikan senyum setulus hati pada Ibu itu. Dan segera membopong tubuh Ukas mendekati kursi itu.
Tanpa banyak basa-basi lagi, segera ku beranjak meninggalkan Ukas dan pergi menuju kamar Melati tempat Rana dirawat. Meski hati tak tega, tapi mau bagaimana lagi, mulut ini sudah terlanjur berjanji untuk mengunjunginya malam ini.
Sedikit tergesa-gesa aku berlari akhirnya ku temukan juga kamar Melati. Ku lihat temanku terbaring lemah disana. Rana masih tertidur, sungguh hati ini tak tega bila harus membangunkannya. Ku pandangi wajahnya lamat-lamat. “Inikah wajah seorang Ibu baru, mungkinkah suatu hari nanti aku juga mengalami masa-masa seperti ini”. Tanyaku pada diriku sendiri. Ku sapu seluruh tubuh Rana dengan mataku, nampak sekali ia sangat kelelahan. Prosesi kehamilan itu mungkin telah banyak menguras tenaganya. “Tenanglah teman, Allah telah mengganti semua rasa sakitmu dengan balasan yang jauh lebih baik di Surga sana, karena engkau telah melahirkan seorang pemimpin yang di nanti sejuta ummat” lirih ku katakan padanya, seraya ku belai lembut rambutnya yang kusam.
Perlahan matanya mulai terbuka. Seulas senyum mengembang di bibirnya, tapi tetesan embun bening keluar dari matanya. Ku pegang erat telapak tangannya, sebisa mungkin aku mencoba menenangkannya, tapi tangisannya kian menjadi. Tak kuasa ku panggil Ibu Tami yang sedari tadi menunggu di luar. Dengan segera ku tekan alarm yang terhubung dengan ruang dokter. Tak berapa lama seorang dokter datang menghampiri kami, dia meminta kami segera meninggalkan ruangan. Sedikit enggan, meski akhirnya ku ikuti jua langkah kaki Ibu Tami. Ibu Tami bukanlah Ibu kandung Rana, sejak kecil Rana memang tinggal bersama Ibu Tami, orang tua kandung Rana selalu tak pernah ada di Rumah. Untuk itulah dari pada Rana harus tinggal di rumah sendirian, ia memilih untuk tinggal bersama Ibu Tami.
Dari luar jendela masih ku dengar rintihan Rana. Ingin sekali aku menemaninya disana, tapi Ibu Tami menahanku. Banyak hal yang mengganggu pikiranku saat ini, mulai dari senyum itu, air matanya hingga rintihannya saat ini. Ku langkahkan kaki sampai depan pintu kamar Rana. Tapi tangan Ibu Tami menahanku. Sedikit tersentak, tatapan matanya yang tajam sangat jelas melarangku membuka pintu itu.
“Sebenarnya apa yang terjadi dengan Rana Bu” Akhirnya ku beranikan juga membuka suara setelah hampir sepersekian detik kami sama-sama terdiam menunggu kepastian dari dokter.
“Tunggulah sampai dokter itu keluar”. Singkat, tapi itu cukup mampu meredam semua gemuruh dihatiku.
Satu detik, dua detik, tiga detik, satu menit, dua menit, lima menit berlalu sudah. Dokter itu tak keluar juga dari kamar Rana. Aku tak mungkin lagi menunggu disini, Ukas pasti sudah menungguku diluar sana. Sudah cukup lama aku meninggalkannya sendirian disana.
“Bu, maaf, aku harus pergi sekarang, saudaraku telah menungguku disana” ku tunjuk pintu keluar. “Jika besok aku ada waktu, aku janji, aku akan mampir kesini lagi untuk menjenguk Rana”. Ku ucapkan dengan hati-hati agar Ibu Tami tak tersinggung.
“Pergilah!. Bila besok kau memang ingin menjenguk Rana, datanglah seorang diri” pinta Bu Tami. Ku balas dengan anggukan, dan segera aku berlari menghampiri Ukas.
Rupanya Benar, Ukas sudah menungguku dengan sekantong obat di tangannya. Ku ucapkan  maaf karena sudah membuatnya menunggu. Udara malam memang tak bagus untuk kesehatan Ukas, dan segera ku raih tangannya hingga pertigaan jalan. Tiga menit berlalu, bus yang membawa kami datang, segera aku dan Ukas naik. Untung masih banyak bangku yang kosong. Aku dan Ukas duduk bersebelahan, kepalanya ia sandarkan diatas pundakku. Pikiranku masih membayangkan keadaan Rana. “Munginkah saat ini ia masih merintih seperti saat aku meninggalkannya tadi?, Dapatkah Bu Tami menenangkannya sendirian?, Dan kenapa ia memintaku untuk datang kesana seorang diri? Kemudian dimana Arga sekarang?, bukankah seharusnya ia berada di samping Rana, menenangkan dan membesarkan hati istrinya?. Lalu bagaimana dengan orang tua kandung Rana. Tidakkah mereka merasa kasian melihat anaknya mengalami derita ini sendirian?. Pertanyaan-pertanyaan ini terus menari-nari di pikiranku sampai aku mengantarkan Ukas pulang ke kontrakannya pun pertanyaan-pertanyaan ini masih bersarang di kepalaku, tak bisa sekejappun kupejamkan mata ini. Akhirnya kuputuskan, besok sepulang kuliah aku harus menjenguknya lagi, pertanyaan-pertanyaan ini harus mendapatkan jawaban. Pertanyaan ini tak boleh hanya berakhir dipikiranku.
Keesokan harinya, sepulang kuliah aku bergegas meninggalkan kelas. Ku pinjam sepeda Izee untuk mengantarkanku ke rumah sakit. Ku beli beberapa buah tangan dan nasi kotak untuk Bu Tami. Sesampainya di rumah sakit, dengan sedikit tergesa-gesa aku berlari ke kamar Melati, tempat Rana di rawat. Dari balik jendela dapat ku lihat Bu Tami membantu Rana melahap buburnya. Dari raut mukanya dapat ku tebak, bubur itu pasti tawar, tak ada rasanya. Meski begitu Bu Tami terus saja memaksa Rana untuk melahap habis bubur itu. Ku tahan kakiku untuk masuk ke kamar Rana. Aku masih ingin melihat pemandangan ini, lagipula aku juga tak ingin mengganggu keakraban mereka. Ku biarkan mereka menghabiskan waktu berdua. Aku terus memandanginya dari luar jendela, sambil sesekali aku mengambil gambar mereka dari kamera hp ku.
“Masuk nak?!”. Pinta Ibu Tami setelah melihatku berdiri mematung dari luar jendela. “Kenapa tidak langsung masuk saja, Rana baru saja makan siang”. 
“Iya Bu, saya cuma tidak ingin mengganggu Ibu dan Rana.”
Seulas senyum mengembang dari bibir Bu Tami. Aku segera masuk menemui Rana. Dia terlihat senang sekali dengan kedatanganku, membuatku sedikit berarti karena hadir disini. Ku peluk Rana beberapa kali melepaskan rindu yang belum sempat tersampaikan tiga tahun silam. Seperti pesan Bu Tami, tak sedikit pun aku mengungkit cerita tentang keluarganya, termasuk juga suami dan anaknya. Ini membuatku semakin bertanya-tanya, namun Bu Tami sudah berjanji padaku untuk menceritakan semuanya. Maka demi kesembuhan Rana, ku turuti saja kemauan Bu Tami. Saat ini Bu Tami adalah orang yang paling tahu kondisi Rana sebenarnya.
Selanjutnya mengalirlah cerita-cerita masa putih abu-abu. Mengenang kisah bersama teman-teman dulu. Saat mereka masih terlihat begitu lugu dan lucunya. Cerita saat semua murid satu kelas harus mendapat hukuman dari guru BP karena sepakat datang terlambat. Masa-masa penuh cinta, surat pemutusan cinta dari tetangga sekolah. Semua begitu indah untuk dikenang. Ingin sekali kami mengulang kisah-kasih di sekolah kembali. Mengulang semua kisah tanpa ada yang ingin di rubah. Satu penyelasan yang kami alami hanya kenapa tidak pernah ada dokumentasi untuk kisah-kisah yang telah kami lalui.
Senang sekali melihat Rana dapat tersenyum ceria, tidak seperti kemarin saat pertama kali aku datang mengunjunginya. “Ya Allah jaga Ranaku, apapun yang dia alami saat ini, jadikanlah senyum itu terus mengembang di bibirnya yang indah”. Ku panjatkan doa setulus hati karena melihat senyum Rana yang juga begitu tulus.
Sinar emas matahari sudah lama tak terlihat lagi. Tanda hari sudah semakin malam. Dan saatnya Rana istirahat. Rana menahan tanganku saat aku ingin berpamitan pulang. Dengan manja ia bersandar di bahuku, ia ingin aku terus disini sampai dia tertidur. Atas saran dokter ku ikuti kemauan Rana. Mungkin ini akan dapat menyembuhkan luka di hatinya. Lama aku terpekur dalam pikiranku sendiri menunggu Rana memejamkan matanya. Lima menit berlalu sudah, namun Rana tak kunjung memejamkan matanya. Ku dekati dia, ku tanyakan padanya apa yang sedang mengganggu pikirannya hingga ia tak dapat memejamkan matanya. Aku tahu dengan kondisinya yang sakit, tak mungkin Rana tak dapat memejamkan matanya setelah seharian ini aku telah mengajaknya bermain dan berbagi cerita panjang lebar, kecuali bila ada hal yang mengganggu pikirannya yang kekuatannya dapat mengalahkan rasa sakitnya.
“Aku ingin sekali melihat anakku Na. Apakah ia terlihat seperti Arga?”. Ucapnya pelan, butiran air itu keluar lagi dari matanya. Aku semakin takut kejadian kemarin akan terulang kembali. Aku tak memiliki banyak alasan untuk dapat menghentikan keinginannya. Tak mungkin aku membangunkan Bu Tami, ia mungkin sudah lelah. Tak enak hati bila aku harus membuatnya terjaga dari mimpi indahnya.
“Akan susah bila melihat anakmu sekarang. Perawat mungkin sudah menutup ruang bayinya. Lagipula ini sudah malam, anakmu mungkin sudah terlelap”. Rana terdiam sejenak, mungkin ia sedang mencerna kata-kataku. Dan aku berharap Rana bisa mengerti kondisinya saat ini.
Rana hanya mengangguk, tanda ia mengerti. Ia rebahkan posisi tubuhnya, ku tarik selimutnya agar ia merasa hangat malam ini. Setelah ku pastikan Rana terlelap dalam tidurnya, ku cium keningnya lembut, aku tak mau Rana terbangun lagi. Dan bergegas pergi meninggalkan kamar Rana.
Dengan perut yang terus bernyanyian, pikiranku masih berkutat pada keinginan Rana sebelum ia tertidur. Begitu besarnya cinta Rana pada Arga, padahal ia tahu Arga telah meninggalkannya. Ini membuatku teringat akan cerita Bu Tami tadi siang. Seperti yang ia janjikan padaku kemarin, Bu Tami akan menceritakan semuanya padaku, dan hari ini aku telah mendapatkan semua jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang membuatku terjaga dari tidurku semalam.
“Semuanya berawal dari pertemuannya dengan Arga, tepatnya lima tahun silam. Rana sangat mencintai Arga, begitu juga dengan Arga. Mereka menjalin hubungan selama hampir dua tahun sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Pak Nilam, Ayah Rana tak menyetujui pernikahan mereka, karena menurutnya Arga bukanlah dari keluarga baik-baik. Paman Arga pernah menipu beberapa kolega Pak Nilam, dan itulah yang menjadi alasan kenapa Pak Nilam tidak menyetujui pernikahan ini. Tapi Rana tetap bersikeras menikah dengan Arga. Sekuat tenaga Arga mencoba membuktikan cintanya pada Rana. Tapi pengorbanan yang dilakukan Arga tak membuat hati Pak Nilam tersentuh. Akhirnya mereka memutuskan untuk menikah tanpa sepengetahuan Pak Nilam, dan ini membuat Pak Nilam murka. Akhirnya Rana di usir dari rumah, dan mereka menetap disini. Sejak itu Rana tak pernah lagi pulang kerumah ataupun berhubungan dengan keluarganya. Pak Nilam pun seperti menganggap Rana sudah tiada. Ia tak mau mendengar berita apapun tentang Rana. Segala hal yang berhubungan dengan Rana seperti telah ia hapus dari memorinya. Ketika Ibu mencoba menghubunginya untuk memberitahu kondisi Rana, mereka tak mau tahu dengan kondisi Rana dan tak peduli biarpun Rana akan mati sekalipun.
Dua tahun sudah masa pernikahan mereka, tapi mereka masih belum juga di karuniai buah hati. Perlahan-perlahan perangai Arga mulai berubah. Ia menjadi seorang yang temperamental, bila ada hal yang menyulut kemarahannya ia tak segan-segan memukul Rana. Mungkin Arga sangat menginginkan seorang anak. Hingga suatu hari berita bahagia itu datang. Rana sedang mengandung, begitu besar kebahagiaan Arga. Ia kembali menjadi orang yang perhatian, ia jaga betul kondisi kesehatan Rana dan calon bayinya. Setiap pulang kerja Arga selalu membawa barang-barang untuk calon bayinya, ia cium perut Rana, di ajaknya bicara, selalu dan seperti itu. Ini membuat Ibu dapat merasakan kebahagiaan yang mereka alami.
Tinggal beberapa hari lagi Rana akan melahirkan. Arga sengaja mengosongkan jadwalnya untuk menemani Rana. Tapi tak disangka, Rana tidak melahirkan bayi laki-laki seperti keinginan Arga, Rana melahirkan bayi perempuan yang cacat. Bayi malang itu tidak bisa mendengar, dan membuatnya juga tak bisa bicara. Arga tidak bisa menerimanya. Arga murka dan mencaci maki Rana di depan para dokter. Selepas itu dia pergi dan tak pernah datang lagi. Arga juga telah menjatuhkan talak satu pada Rana. Rana shock, dan beberapa kali ia harus masuk ICU. Ibu tak tahu lagi bagaimana cara mengembalikan semangat Rana. Ibu merasa kasian pada nasib yang menimpa Rana. Karena itu, Ibu berterima kasih sekali Nak Mirna mau mengunjungi dan menghibur Rana”. Kata terakhir Bu Tami membuatku bertekad ingin mengembalikan lagi warna dalam kehidupan Rana. Ia tak seharusnya menerima kenyataan pahit ini sendirian. Rana berhak untuk menerima kebahagiaan.
Kisah yang dialami Rana memang begitu pahit. Aku mungkin tak akan sekuat Rana bila harus mengalami ini sendirian, orang-orang yang dicintainya telah pergi meninggalkannya. Mungkin, aku juga harus berterima kasih pada Rana, karena ia memberiku pelajaran yang begitu berarti.
Ku tenggak minuman dari gelas terakhirku tanpa ada sisa. Ku taruh beberapa lembar uang sepuluh ribu dari kantong celanaku dan meninggalkannya diatas meja. Dan segera aku bergegas meninggalkan Rumah Sakit ini. Aku tak mungkin lagi berlama-lama disini, masih ada hari esok yang menungguku dengan segudang pekerjaan yang harus aku selesaikan.
_425_

Search

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter