Perempuan Surga

Addunya mata'un,wa khaiyru mata'iha al Mar'atus Shalihah

Minggu, 21 Oktober 2018

Jomblo Fiisabilillah

“Jomblo Fiisabilillah” Agak lucu sih dengernya, tapi buat sebagian ikhwan akhwat yang kekinian pasti gag asing dengan kata ini. Status ini biasa nempel ke orang yang lagi jomblo, gag punya pasangan tapi pengeeen banged punya pasangan tapi bukan pacaran yaa.. istilahnya lagi nyari jodoh. Menurutku status ini juga lebih enak di telinga sih dari pada istilah jojoba atau jomblo-jomblo bahagia. Tapi kenapa harus jomblo, kenapa gag single?? Hmm.. apa yaaak?? karena gini, ini menurutku yaa, single tuh buat orang yang belum punya pasangan sama sekali, belum pacaran atau gag punya mantan lah dalam hidunya. Kalau jomblo itu mereka yang udah punya mantan, mereka yang pernah pacaran, mereka yang punya gebetan, punya gandengan, dulu. Sah-sah aja sih kalau ada orang yang mau bilang single fiisabilillah, atau mungkin lebih keren jomblo fiisabilillah, single fiisabilillah, jomblo fiisabilillah single fiisabilillah… Haa ni ngomongin apaan sih?? single tuh bukan orang yang gag pernah laku yaa, atau pemilih (mungkin iyaa sih!!!) tapi mereka tuh sebenarnya berprinsip lhoo.. orang orang single tuh biasanya punya karakter kuat banged dalam dirinya. Jadi jangan bilang orang yang gag punya mantan itu kuper yaa?? Bukan berarti yang jomblo gag berprinsip dan berkarakter. Tapi gini, jomblo atau single fiisabilillah sama saja, terserah menurut pandangan orang. Sebenarya dalam islam tuh gag ada kata pacaran. Biarpun itu pacaran islami atau pacaran yang sehat, tetap gag ada istilah pacaran dalam islam. Atau ada yang bilang gaya pacaran kita kan baik, positif. Gag ada. Gag ada istilah pacaran yang baik, Dan jangan samain pacaran sama taaruf yaa...!! itu jelas jauh beda, di lihat dari niat aja beda, apalagi caranya. Jelas beda. Tapi disini lagi gag ngomongin pacaran yaa?? kita lagi ngomongin para jomblo fiisabilillah. Ciri jomblo fiisabilillah tuh berarti dia gag mau pacaran lagi. Dia jomblo yang senantiasa berada di jalan Allah, cieee... dia jomblo dari apa yang ditaubatkannya, uhuui.. pokoknya jomblo yang gag mau mengulangi kesalahan-kesalahan masa lalunya deh. Jomblo yang berusaha setiap hari untuk dekat dengan Allah, berusaha dengan keras untuk terus dan terus mencintai Allah semata hingga Allah mengasihinya dan memberikan dia jodoh yang sebenarnya. Yang terpenting nih dia bahagia dengan kejombloannya. Haa Kapan jodoh itu akan datang untuk para jomblo fiisabilillah?? Hanya Allah yang tau kapan waktu yang pas. Para jomblo fiisabilillah hanya tunggu moment saja. Satu minggu, dua minggu, satu bulan, dua bulan, satu tahun, dua tahun, tiga tahun, empat tahun, lima tahun.. pokoknya tunggu aja. Naah!! sambil nunggu jodohnya datang kenapa gag coba perbaiki diri. Positif thingking aja sama Allah, dan gag usah iri ketika tahu orang lain dapet jodohnya lebih cepet, padahal mungkin dia baru kemarin putus sama mantannya dan sekarang mau nikah. Tenaaang…! sabaaar…! gag usah terburu-buru. Tunggu aja waktu yang tepat dari Allah. mungkin jodoh yang Allah siapin lagi sibuk memperbaiki diri, atau mungkin dia sedang mengejar karir untuk masa depan setelah menikah, atau bisa karena yang lain. Misal, dia bernadzar ngafalin qur’an dan hadist sebelum nikah, atau dia lagi menyelesaikan studinya, bisa berbagai macam hal. Bisa juga jodoh yang Allah kasih buat kita udah siap, udah mapan, udah sangat memperbaiki diri untuk menanti kita, tapi belum Allah pertemukan dengan kita itu mungkin saja pertanda bahwa Allah ingin kita memperbaiki diri juga untuk jodoh kita, agar kita sepadan bersanding dengan jodoh yang udah Allah siapin buat kita. Yakiin aja deh…! orang tua aja pasti ingin yang terbaik buat anaknya, apalagi Allah. Allah pasti ingin yang terbaik buat hambaNya. Bukankah jelas janji Allah bahwa orang baik dapet jodohnya pasti orang baik juga. Jadi para jomblo fiisabilillah gag perlu risau, karena kalian tuh sebenernya mutiara-mutiara yang lagi Allah siapin menjadi pengemban amanah generasi mendatang. Bukankah mutiara yang paling bagus akan membutuhkan waktu yang lama dalam prosesnya. Dan karena jomblo fiisabilillah adalah mutiara, apapun masalah, cobaan, rintangan yang kalian hadapi dalam menanti jodoh kalian jangan gentar yaa guys.. jangan keluar dari jalan Allah.. tetap istiqomah dan terus saling mengingatkan dengan baik dan sopan.

Selasa, 03 Oktober 2017

Aku dan Kelemahanku

AKU DAN KEBODOHANKU

Aku selalu berpikir kenapa setiap kali aku membutuhkan teman, tak satupun Allah menghadirkan seseorang dalam hidupku, tidak sahabat tidak juga keluarga. Itu dulu...
Butuh proses yang lama untuk mengetahui (Ampuni hamba yang naif ini Ya Allah....)
Hingga kemudian...
Aku kembali berada di bawah dan membutuhkan seseorang, siapa saja.. satu saja.. tapi tak ada, dan aku kembali mempertanyakan kasih sayangnya.. (Astaghfirullah...)
Dalam shalatku aku terus memohon kekuatan, kekuatan dalam menghadapi ujian ini dan ujian-ujian selanjutnya (ujian yang sebenarnya adalah nikmat), tapi aku juga terus mempertanyakan kenapa Allah tak memberiku satu saja teman agar aku bisa berkeluh kesah, meringankan beban yang sedang ku tanggung sekarang..
Tiba-tiba tanpa aku mengerti, kesadaran itu muncul, kesadaran yang mendarat tepat di otakku dan menjalar dengan cepat mengikuti aliran darah memenuhi seluruh gerak tubuh. Kesadaran itu lebih kecil dari debu namun efek yang ditimbulkannya membuat lisanku terus menerus beristighfar memohon ampun pada Allah.
Kenapa..?? tak pernah terpikirkan oleh sedari dulu.. bahwa Allah telah menjawab doa-doaku.. berapa kali aku berdoa kepadaNya minta kekuatan untuk menghadapi ujian, cobaan bahkan bahkan kekuatan untuk menghadapi nikmat dunia. Kuhitung dengan jariku berapa kali sudah aku meminta kekuatan padaNya, tapi aku lupa.. aku tak tahu.. berapa banyak aku memohon kekuatan padaNya.
Padahal sebenarnya, saat aku meminta kekuatan padaNya, Allah mungkin sudah mengirimkan kekuatan itu kepadaku, menyimpannya didalam dadaku, hanya saja aku yang tidak menyadarinya.
Karena aku adalah hambaNya yang bodoh, Allah memiliki cara tersendiri untuk menunjukkan kepadaku bahwa Allah telah mengabulkan doaku tapi aku tak pernah menyadarinya, SEKALIPUN. Bahwa sebenarnya aku bisa menghadapi ini sendirian, aku kuat karena kasih sayangNya, aku tak perlu manusia untuk tempat mengadu, karena sebaik-baik tempat pengadauan adalah ke sisiNya. Bahwa dengan ini, Allah berulang kali memintaku untuk mendekat kepadaNya, bersimpuh dan bermuhasabah denganNya.
Mb Nis, Nisa’ul Hikmah.. aku percaya bahwa apapun yang terjadi di muka bumi baik dan buruk semuanya pasti ada hikmahnya. Seperti saat kau pergi tanpa pamit, meski awalnya aku tak rela, masih sering merasa tak percaya, tapi aku ikhlas sangat sangat ikhlas bahwa kau pergi lebih dulu menemui Allah.. sayangku mungkin tak cukup besar seperti Allah menyayangimu. Aku percaya dan terus berharap kau akan cepat menemui kebahagiaan yang sebenarnya. Kami tak akan melupakanmu selamanya. Maafkan adikmu yang sok dewasa ini, jika dengan berjalannya waktu kami tak sering lagi mengenangmu dan memikirkanmu seperti sekarang, tapi percayalah disetiap gelaran sajadah dan sujud kami selalu ada doa mengalir untukmu.
Jika mungkin aku meminta hal, datanglah temui Ibu di mimpinya. Kami semua merindukanmu, rinduuu sekali..

Sabtu, 13 Desember 2014

Ada Yang Baru Niiih....

Adda yang baru lagi nih buat temen-temen. Silahkan dinikmati.
Cerita-cerita akan segera menyusul. Tentu akan ada banyak keseruan yang menanti.
Nah, dari cerita-cerita yang beruarai kalian akan dapat mengenali siapa dan bagaimana karakter penulis yang sesungguhnya.
Nantikan yaaa episode selanjutnya. Doakan semoga penulisnya bisa terus menulis dan menulis lagi. :)

KISAH KEMARIN



Hari ini aku berkunjung ke rumah sakit. Sengaja. Aku datang kesini karena dua alasan, pertama karena aku ingin menengok temanku yang beberapa hari lalu melahirkan buah hatinya, dan yang kedua mengantar saudaraku check up seperti biasanya.
Setelah menemani saudaraku periksa, sebut saja dia Ukas, kami melangkah ke ruang pengambilan obat. Entahlah aku tidak tahu pasti apa nama ruangan itu, yang jelas setelah dokter cantik itu menyodorkan selembar kertas kepada Ukas, dia segera menarik tanganku, belum sempat aku bertanya, kami sudah berdiri didepan antrian yang begitu panjang. Kami berdiri  cukup lama disana, aku cukup lelah berdiri sedari tadi, ku lirik sekitar ruangan ini, sudah tak ada kursi yang kosong lagi. Akhirnya aku menemukan satu kursi kosong bekas kakek tua, yang kira-kira usianya sudah 70 tahun. Ku suruh Ukas untuk duduk di kursi itu, ia juga terlihat sama lelahnya seperti diriku, tapi ia hanya menggeleng. Ku rasa Ukas takut bila harus mengantri dari awal jika ia duduk. Akhirnya ku temukan ide.
“Bu, permisi, boleh saya minta tolong?!” tanyaku pada seorang Ibu dibelakangku. Dengan dress biru muda berenda yang dikenakannya, Ibu itu terlihat anggun. Senyumannya membuat ia bak malaikat di gelapnya malam.
“Iya, ada apa nak” jawabnya pelan. Teduh sekali mendengarnya
“Begini Bu, kami sedang mengantri obat disini,” ku rangkul pundak Ukas. “tapi dia sangat kelelahan berdiri disini, dan dia ingin duduk di kursi kosong itu”, ku tunjuk satu kursi kosong dipojokan. “tapi dia takut bila dia duduk dia harus mengantri dari awal lagi, dan saya tidak bisa  menggantikan dia untuk mengantri disini, saya harus mengunjungi teman saya yang dirawat disini juga. Jadi kalau boleh, jika antrian didepan sudah berkurang, Ibu berkenan memanggil Ukas, agar ia bisa mengantri lagi disini.”
 “Ohh, Iyaa, silahkan, dari pada nanti tambah sakit.” Jawaban yang aku tunggu dari tadi.
“Terima kasih banyak Bu..” ku berikan senyum setulus hati pada Ibu itu. Dan segera membopong tubuh Ukas mendekati kursi itu.
Tanpa banyak basa-basi lagi, segera ku beranjak meninggalkan Ukas dan pergi menuju kamar Melati tempat Rana dirawat. Meski hati tak tega, tapi mau bagaimana lagi, mulut ini sudah terlanjur berjanji untuk mengunjunginya malam ini.
Sedikit tergesa-gesa aku berlari akhirnya ku temukan juga kamar Melati. Ku lihat temanku terbaring lemah disana. Rana masih tertidur, sungguh hati ini tak tega bila harus membangunkannya. Ku pandangi wajahnya lamat-lamat. “Inikah wajah seorang Ibu baru, mungkinkah suatu hari nanti aku juga mengalami masa-masa seperti ini”. Tanyaku pada diriku sendiri. Ku sapu seluruh tubuh Rana dengan mataku, nampak sekali ia sangat kelelahan. Prosesi kehamilan itu mungkin telah banyak menguras tenaganya. “Tenanglah teman, Allah telah mengganti semua rasa sakitmu dengan balasan yang jauh lebih baik di Surga sana, karena engkau telah melahirkan seorang pemimpin yang di nanti sejuta ummat” lirih ku katakan padanya, seraya ku belai lembut rambutnya yang kusam.
Perlahan matanya mulai terbuka. Seulas senyum mengembang di bibirnya, tapi tetesan embun bening keluar dari matanya. Ku pegang erat telapak tangannya, sebisa mungkin aku mencoba menenangkannya, tapi tangisannya kian menjadi. Tak kuasa ku panggil Ibu Tami yang sedari tadi menunggu di luar. Dengan segera ku tekan alarm yang terhubung dengan ruang dokter. Tak berapa lama seorang dokter datang menghampiri kami, dia meminta kami segera meninggalkan ruangan. Sedikit enggan, meski akhirnya ku ikuti jua langkah kaki Ibu Tami. Ibu Tami bukanlah Ibu kandung Rana, sejak kecil Rana memang tinggal bersama Ibu Tami, orang tua kandung Rana selalu tak pernah ada di Rumah. Untuk itulah dari pada Rana harus tinggal di rumah sendirian, ia memilih untuk tinggal bersama Ibu Tami.
Dari luar jendela masih ku dengar rintihan Rana. Ingin sekali aku menemaninya disana, tapi Ibu Tami menahanku. Banyak hal yang mengganggu pikiranku saat ini, mulai dari senyum itu, air matanya hingga rintihannya saat ini. Ku langkahkan kaki sampai depan pintu kamar Rana. Tapi tangan Ibu Tami menahanku. Sedikit tersentak, tatapan matanya yang tajam sangat jelas melarangku membuka pintu itu.
“Sebenarnya apa yang terjadi dengan Rana Bu” Akhirnya ku beranikan juga membuka suara setelah hampir sepersekian detik kami sama-sama terdiam menunggu kepastian dari dokter.
“Tunggulah sampai dokter itu keluar”. Singkat, tapi itu cukup mampu meredam semua gemuruh dihatiku.
Satu detik, dua detik, tiga detik, satu menit, dua menit, lima menit berlalu sudah. Dokter itu tak keluar juga dari kamar Rana. Aku tak mungkin lagi menunggu disini, Ukas pasti sudah menungguku diluar sana. Sudah cukup lama aku meninggalkannya sendirian disana.
“Bu, maaf, aku harus pergi sekarang, saudaraku telah menungguku disana” ku tunjuk pintu keluar. “Jika besok aku ada waktu, aku janji, aku akan mampir kesini lagi untuk menjenguk Rana”. Ku ucapkan dengan hati-hati agar Ibu Tami tak tersinggung.
“Pergilah!. Bila besok kau memang ingin menjenguk Rana, datanglah seorang diri” pinta Bu Tami. Ku balas dengan anggukan, dan segera aku berlari menghampiri Ukas.
Rupanya Benar, Ukas sudah menungguku dengan sekantong obat di tangannya. Ku ucapkan  maaf karena sudah membuatnya menunggu. Udara malam memang tak bagus untuk kesehatan Ukas, dan segera ku raih tangannya hingga pertigaan jalan. Tiga menit berlalu, bus yang membawa kami datang, segera aku dan Ukas naik. Untung masih banyak bangku yang kosong. Aku dan Ukas duduk bersebelahan, kepalanya ia sandarkan diatas pundakku. Pikiranku masih membayangkan keadaan Rana. “Munginkah saat ini ia masih merintih seperti saat aku meninggalkannya tadi?, Dapatkah Bu Tami menenangkannya sendirian?, Dan kenapa ia memintaku untuk datang kesana seorang diri? Kemudian dimana Arga sekarang?, bukankah seharusnya ia berada di samping Rana, menenangkan dan membesarkan hati istrinya?. Lalu bagaimana dengan orang tua kandung Rana. Tidakkah mereka merasa kasian melihat anaknya mengalami derita ini sendirian?. Pertanyaan-pertanyaan ini terus menari-nari di pikiranku sampai aku mengantarkan Ukas pulang ke kontrakannya pun pertanyaan-pertanyaan ini masih bersarang di kepalaku, tak bisa sekejappun kupejamkan mata ini. Akhirnya kuputuskan, besok sepulang kuliah aku harus menjenguknya lagi, pertanyaan-pertanyaan ini harus mendapatkan jawaban. Pertanyaan ini tak boleh hanya berakhir dipikiranku.
Keesokan harinya, sepulang kuliah aku bergegas meninggalkan kelas. Ku pinjam sepeda Izee untuk mengantarkanku ke rumah sakit. Ku beli beberapa buah tangan dan nasi kotak untuk Bu Tami. Sesampainya di rumah sakit, dengan sedikit tergesa-gesa aku berlari ke kamar Melati, tempat Rana di rawat. Dari balik jendela dapat ku lihat Bu Tami membantu Rana melahap buburnya. Dari raut mukanya dapat ku tebak, bubur itu pasti tawar, tak ada rasanya. Meski begitu Bu Tami terus saja memaksa Rana untuk melahap habis bubur itu. Ku tahan kakiku untuk masuk ke kamar Rana. Aku masih ingin melihat pemandangan ini, lagipula aku juga tak ingin mengganggu keakraban mereka. Ku biarkan mereka menghabiskan waktu berdua. Aku terus memandanginya dari luar jendela, sambil sesekali aku mengambil gambar mereka dari kamera hp ku.
“Masuk nak?!”. Pinta Ibu Tami setelah melihatku berdiri mematung dari luar jendela. “Kenapa tidak langsung masuk saja, Rana baru saja makan siang”. 
“Iya Bu, saya cuma tidak ingin mengganggu Ibu dan Rana.”
Seulas senyum mengembang dari bibir Bu Tami. Aku segera masuk menemui Rana. Dia terlihat senang sekali dengan kedatanganku, membuatku sedikit berarti karena hadir disini. Ku peluk Rana beberapa kali melepaskan rindu yang belum sempat tersampaikan tiga tahun silam. Seperti pesan Bu Tami, tak sedikit pun aku mengungkit cerita tentang keluarganya, termasuk juga suami dan anaknya. Ini membuatku semakin bertanya-tanya, namun Bu Tami sudah berjanji padaku untuk menceritakan semuanya. Maka demi kesembuhan Rana, ku turuti saja kemauan Bu Tami. Saat ini Bu Tami adalah orang yang paling tahu kondisi Rana sebenarnya.
Selanjutnya mengalirlah cerita-cerita masa putih abu-abu. Mengenang kisah bersama teman-teman dulu. Saat mereka masih terlihat begitu lugu dan lucunya. Cerita saat semua murid satu kelas harus mendapat hukuman dari guru BP karena sepakat datang terlambat. Masa-masa penuh cinta, surat pemutusan cinta dari tetangga sekolah. Semua begitu indah untuk dikenang. Ingin sekali kami mengulang kisah-kasih di sekolah kembali. Mengulang semua kisah tanpa ada yang ingin di rubah. Satu penyelasan yang kami alami hanya kenapa tidak pernah ada dokumentasi untuk kisah-kisah yang telah kami lalui.
Senang sekali melihat Rana dapat tersenyum ceria, tidak seperti kemarin saat pertama kali aku datang mengunjunginya. “Ya Allah jaga Ranaku, apapun yang dia alami saat ini, jadikanlah senyum itu terus mengembang di bibirnya yang indah”. Ku panjatkan doa setulus hati karena melihat senyum Rana yang juga begitu tulus.
Sinar emas matahari sudah lama tak terlihat lagi. Tanda hari sudah semakin malam. Dan saatnya Rana istirahat. Rana menahan tanganku saat aku ingin berpamitan pulang. Dengan manja ia bersandar di bahuku, ia ingin aku terus disini sampai dia tertidur. Atas saran dokter ku ikuti kemauan Rana. Mungkin ini akan dapat menyembuhkan luka di hatinya. Lama aku terpekur dalam pikiranku sendiri menunggu Rana memejamkan matanya. Lima menit berlalu sudah, namun Rana tak kunjung memejamkan matanya. Ku dekati dia, ku tanyakan padanya apa yang sedang mengganggu pikirannya hingga ia tak dapat memejamkan matanya. Aku tahu dengan kondisinya yang sakit, tak mungkin Rana tak dapat memejamkan matanya setelah seharian ini aku telah mengajaknya bermain dan berbagi cerita panjang lebar, kecuali bila ada hal yang mengganggu pikirannya yang kekuatannya dapat mengalahkan rasa sakitnya.
“Aku ingin sekali melihat anakku Na. Apakah ia terlihat seperti Arga?”. Ucapnya pelan, butiran air itu keluar lagi dari matanya. Aku semakin takut kejadian kemarin akan terulang kembali. Aku tak memiliki banyak alasan untuk dapat menghentikan keinginannya. Tak mungkin aku membangunkan Bu Tami, ia mungkin sudah lelah. Tak enak hati bila aku harus membuatnya terjaga dari mimpi indahnya.
“Akan susah bila melihat anakmu sekarang. Perawat mungkin sudah menutup ruang bayinya. Lagipula ini sudah malam, anakmu mungkin sudah terlelap”. Rana terdiam sejenak, mungkin ia sedang mencerna kata-kataku. Dan aku berharap Rana bisa mengerti kondisinya saat ini.
Rana hanya mengangguk, tanda ia mengerti. Ia rebahkan posisi tubuhnya, ku tarik selimutnya agar ia merasa hangat malam ini. Setelah ku pastikan Rana terlelap dalam tidurnya, ku cium keningnya lembut, aku tak mau Rana terbangun lagi. Dan bergegas pergi meninggalkan kamar Rana.
Dengan perut yang terus bernyanyian, pikiranku masih berkutat pada keinginan Rana sebelum ia tertidur. Begitu besarnya cinta Rana pada Arga, padahal ia tahu Arga telah meninggalkannya. Ini membuatku teringat akan cerita Bu Tami tadi siang. Seperti yang ia janjikan padaku kemarin, Bu Tami akan menceritakan semuanya padaku, dan hari ini aku telah mendapatkan semua jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang membuatku terjaga dari tidurku semalam.
“Semuanya berawal dari pertemuannya dengan Arga, tepatnya lima tahun silam. Rana sangat mencintai Arga, begitu juga dengan Arga. Mereka menjalin hubungan selama hampir dua tahun sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Pak Nilam, Ayah Rana tak menyetujui pernikahan mereka, karena menurutnya Arga bukanlah dari keluarga baik-baik. Paman Arga pernah menipu beberapa kolega Pak Nilam, dan itulah yang menjadi alasan kenapa Pak Nilam tidak menyetujui pernikahan ini. Tapi Rana tetap bersikeras menikah dengan Arga. Sekuat tenaga Arga mencoba membuktikan cintanya pada Rana. Tapi pengorbanan yang dilakukan Arga tak membuat hati Pak Nilam tersentuh. Akhirnya mereka memutuskan untuk menikah tanpa sepengetahuan Pak Nilam, dan ini membuat Pak Nilam murka. Akhirnya Rana di usir dari rumah, dan mereka menetap disini. Sejak itu Rana tak pernah lagi pulang kerumah ataupun berhubungan dengan keluarganya. Pak Nilam pun seperti menganggap Rana sudah tiada. Ia tak mau mendengar berita apapun tentang Rana. Segala hal yang berhubungan dengan Rana seperti telah ia hapus dari memorinya. Ketika Ibu mencoba menghubunginya untuk memberitahu kondisi Rana, mereka tak mau tahu dengan kondisi Rana dan tak peduli biarpun Rana akan mati sekalipun.
Dua tahun sudah masa pernikahan mereka, tapi mereka masih belum juga di karuniai buah hati. Perlahan-perlahan perangai Arga mulai berubah. Ia menjadi seorang yang temperamental, bila ada hal yang menyulut kemarahannya ia tak segan-segan memukul Rana. Mungkin Arga sangat menginginkan seorang anak. Hingga suatu hari berita bahagia itu datang. Rana sedang mengandung, begitu besar kebahagiaan Arga. Ia kembali menjadi orang yang perhatian, ia jaga betul kondisi kesehatan Rana dan calon bayinya. Setiap pulang kerja Arga selalu membawa barang-barang untuk calon bayinya, ia cium perut Rana, di ajaknya bicara, selalu dan seperti itu. Ini membuat Ibu dapat merasakan kebahagiaan yang mereka alami.
Tinggal beberapa hari lagi Rana akan melahirkan. Arga sengaja mengosongkan jadwalnya untuk menemani Rana. Tapi tak disangka, Rana tidak melahirkan bayi laki-laki seperti keinginan Arga, Rana melahirkan bayi perempuan yang cacat. Bayi malang itu tidak bisa mendengar, dan membuatnya juga tak bisa bicara. Arga tidak bisa menerimanya. Arga murka dan mencaci maki Rana di depan para dokter. Selepas itu dia pergi dan tak pernah datang lagi. Arga juga telah menjatuhkan talak satu pada Rana. Rana shock, dan beberapa kali ia harus masuk ICU. Ibu tak tahu lagi bagaimana cara mengembalikan semangat Rana. Ibu merasa kasian pada nasib yang menimpa Rana. Karena itu, Ibu berterima kasih sekali Nak Mirna mau mengunjungi dan menghibur Rana”. Kata terakhir Bu Tami membuatku bertekad ingin mengembalikan lagi warna dalam kehidupan Rana. Ia tak seharusnya menerima kenyataan pahit ini sendirian. Rana berhak untuk menerima kebahagiaan.
Kisah yang dialami Rana memang begitu pahit. Aku mungkin tak akan sekuat Rana bila harus mengalami ini sendirian, orang-orang yang dicintainya telah pergi meninggalkannya. Mungkin, aku juga harus berterima kasih pada Rana, karena ia memberiku pelajaran yang begitu berarti.
Ku tenggak minuman dari gelas terakhirku tanpa ada sisa. Ku taruh beberapa lembar uang sepuluh ribu dari kantong celanaku dan meninggalkannya diatas meja. Dan segera aku bergegas meninggalkan Rumah Sakit ini. Aku tak mungkin lagi berlama-lama disini, masih ada hari esok yang menungguku dengan segudang pekerjaan yang harus aku selesaikan.
_425_

Rabu, 02 April 2014

kenalan yuk....!!


Tak kenal maka tak sayang.  Yups, benar sekali.  Dan untuk itu, agar saya dan tean-teman dapat menjalin  rasa sayang (ops, rasa sayang antar sesama saudara lho…), akan lebih jika diawali dengan perkenalan.
Sedikit kikuk bila harus berkenalan dengan gaya bahasa yang formal.
nama: Mar’atus Sholihah dan bla.. bla.. blaa…
Tapi mau gimana lagi, rasanya susah bagiku untuk mengawali perkenalan dengan bahasa  yang  sok lebay…
Ok. Langsung dech., sedikit perkenalan, my name is Mar’atus Sholihah, and I’not terorist. Lho,lho., kayak di film India “My Name Is Khan” tuch. Tapi bener kugh aku  emang bukan teroris. Aku hanya orang islam yang selalu mencoba memperbaiki diri. Asseeeegk….
udah yaa,  perkenalanini cukup sampai disini dulu.  Selanjutnya akan terus diperbaiki kugh, tenang ajh bagi yang mau kenal dekat ama aku… (yaiks., PD abiss..; maklum)

Selasa, 01 April 2014

Arti Sebuah Air Mata


MENANGIS TANPA ALASAN
Aku memiliki satu teman yang suka menangis tanpa alasan, katanya. Lucu memang kedengarannya. Tapi tak mengapa. Menangislah, menangislah sepuasmu.
Menangislah jika itu jawaban. Menangislah jika menangis itu dapat menjadi jawaban kegundahan hatimu.
Menangislah jika itu melegakan. Menangislah jika menangis itu dapat melegakan hatimu.
Menangislah jika itu jawaban. Menangislah jika dengan menangis kamu mampu mengusir semua kepenatan hidup.
Menangislah jika itu suatu keharusan. Menangislah jika hanya dengan tetesan air mata dapat menyembuhkan hati yang lara.
Menangislah jika itu peluang. Menangislah jika dengan tangisan dapat mewakili setiap rasa di hati.
Menangislah jika itu jawaban. Menangislah jika hanya air mata yang mampu menggantikan untaian kata.
Menangislah jika itu lebih baik. Menangislah jika hanya dengan tetesan air matamu dapat menghapus dosa-dosamu.
Menangislah jika itu jawaban. Menangislah jika dengan kekuatan tetesan air mata dapat menggantikan semua yang hilang, dapat mengembalikan semua yang telah berlalu.
Menangislah jika itu kekuatan. Menangislah jika setiap tangisanmu mampu menyamarkan kerasnya hatimu.
Menangislah jika itu suatu kesempatan. Karena hanya dengan menangis segala hal yang tidak dapat tersampaikan oleh kata, yang tidak dapat di mengerti oleh telinga, yang tidak dapat di pahami oleh akal dapat tersampaikan hanya karena air mata.
Menangislah meski tanpa alasan. Karena dari rentetan air mata itulah seseorang dapat mengetahui betapa lembutnya hatimu.

Inspired:
Seribu Bunga

Minggu, 30 Maret 2014

IMM Berproses

Ini ceritaku tentang organisasi yang saat ini aku geluti dengan sepenuh hati, saat ini. Walaupun rasa lelah sering kali mendera tubuh, sejauh ini aku merasa nyaman dan menikmati semuanya dengan segala suka dukanya.
“Kamu tidak akan dapat apa-apa di IMM ini” beberapa Alumni sering kali mengatakan kata-kata ini. Dulu mungkin aku tidak tahu kenapa mereka, para alumni senang sekali mendengungkan kata-kata ini. Tapi sekarang aku sadar, sadar betul. Mereka memiliki alasan tersendiri kenapa mereka senang mengatakan kata-kata ini. Mereka tidak ingin memberikan janji-janji yang mungkin nantinya belum tentu para kader dapatkan. Mereka, para alumni ingin menunjukkan kenyataan kepada para kader tentang kondisi sebuah organisasi, bahwa sebuah organisasi tidak semulus seperti dalam bayangan mereka. Sebuah organisasi yang mengunggulkan nilai-nilai intelektual pun tak selamanya berada dalam zona amannya, dalam artian apa yang organisasi tonjolkan belum tentu semuanya tercapai. Begitu pula di IMM bahwa tidak semua yang para kader cari, akan mereka dapatkan di organisasi. Dan mungkin juga sebaliknya rasa lelah, rasa capek, kecewa, putus asa yang mungkin akan para kader rasakan.
Pertama kali mendengar kata-kata ini, aku sedikit berprasangka buruk dengan IMM. Mungkinkah aku masuk di sebuah organisasi yang salah. Mereka sebagai para alumni saja mengatakan hal yang demikian. Bukankah seharusnya mereka menunjukkan sisi positif organisasinya agar lebih banyak orang yang bergabung. Jika mereka para alumni saja memiliki pikiran yang demikian, lalu bagaimana dengan  kader baru layaknya diriku.
“Jika kamu berproses dengan setengah-setengah, maka hasil yang akan kamu dapat pun akan setengah-setengah. Tapi jika kamu berproses sepenuh hati maka hasil yang kamu dapat akan sesuai yang hatimu inginkan”. Ini kata kata salah satu alumni yang hingga kini selalu aku banggakan. Dan karena kata-kata ini aku masih bisa terus mengikuti semua proses dalam IMM, meskipun belum secara total.
Dan benar, kenyataan yang aku dapat pun hanya setengah-setengah. Aku memang tidak bisa menjelaskan bagaiamana hasilnya secara konkrit, tapi ini akan bisa dirasakan oleh mereka yang pernah dan sedang berproses dalam organisasi, apa pun itu.
Setelah kini, aku menduduki posisi yang cukup penting di jajaran komisariat. Mau tidak mau, senang tidak senang. Aku diharuskan berproses secara total di IMM. Tidak ada pihak yang memaksaku akan hal ini. Tapi entahlah, mungkin saat itu hidayah Allah sedang turun kepadaku hingga aku berniat untuk terus mengejar ketertinggalanku di dunia IMM ini, dan berusaha untuk tetap melakukan yang terbaik.
Kembali pada topik semula. Ternyata apa yang didengungkan para alumni tidak selamanya benar. Aku mendapatkan apa yang seharusnya aku butuhkan. Dari awal aku memang tidak memiliki tujuan khusus, atau hal apapun yang ingin aku dapatkan di IMM ini. Tapi jujur aku mendapatkan apa yang sejatinya aku harus miliki dan aku butuhkan.
Aku tipe orang yang cuek, dengan banyaknya kader yang menjadi tanggung jawabku, secara tidak langsung aku di tuntut untuk menjadi orang yang perhatian, paling tidak sekedar menanyakan keadaan kader (bukan kategori yang lebay). Orang organisasi pasti paham betul dengan hal ini. Bukan karena ingin PDKT atau lain sebagainya. Tapi ini merupakan suatu pendekatan yang cukup manjur untuk diterapkan dalam sebuah organisasi. Kebanyakan mereka menyebutnya pendekatan kultural. Dan karena hal ini, sedikit demi sedikit aku belajar menjadi pribadi yang perhatian, menjadi orang yang peduli dengan kondisi orang lain. Dengan keadaan yang seperti ini juga aku mendapatkan pelajaran bahwa pembicaraan yang basa-basi itu juga merupakan suatu hal yang penting, dan untuk beberapa moment basa-basi menjadi hal yang urgent untuk diterapkan.
Tanggung jawab ini sebenarnya sangat membebaniku. Banyaknya kader ummat yang sekarang berada dalam pundakku membuatku ingin lari, ingin acuh tak acuh kepada mereka. Tapi gambaran jelas bagaimana orang tuaku dengan beban yang demikian besar masih bersusah-ria merawat dan mendidikku dan saudara-saudaraku. IMM membuka mataku untuk belajar tentang perjuangan dan pengorbanan orang tuaku, dari mereka aku belajar tanggung jawab. Mereka mendidikku bukan semata-mata karena rasa sayang belaka, tapi lebih kepada karena mereka memiliki rasa tanggung jawab yang demikian besar untuk menjadikan putra-putri berguna dan bermanfaat untuk ummat, bangsa, dan Negara. Dan inilah wujud dari doa orang tuaku. Dengan IMM aku ingin mewujudkan doa orang tua yang dulu tertera pada secarik kertas saat aku aqiqah. Aku mungkin tak bisa sehebat Jokowi atau pejabat tinggi negeri ini dalam bakti kepada Negara dan ummat, tapi setidak aku tetap bisa melakukan hal-hal yang terbaik yang bisa aku lakukan, dan dengan tulus ikhlas menjalankannya. Setiap orang tua pasti ingin semua anaknya berbakti dan berguna bagi masyarakat, ummat, bangsa dan Negara. Dan ini adalah salah satu pengaplikasianku atas sebutir doa dan impian dari orang tuaku. IMM menjadi wadah baruku untuk perwujudan doa dan harapan orang tuaku. Dan Allah telah memberikanku pengajaran ini lewat IMM.
Aku memiliki emosi yang mudah sekali terpancing. Walaupun tidak semuanya bisa luapkan, tapi aku tahu semua emosi yang ada dalam hatiku, secara tidak langsung dapat terlihat dari expresi wajahku.  
Aku menghadapi banyak orang dengan berbagai karakter. Dan hubunganku dengan mereka tidak selamanya berjalan mulus layaknya jalan tol. Selalu dan pasti ada masalah yang terjadi, mulai dari komuniksi yang tidak berjalan lancar, pikiran yang sering kali tidak satu frame, juga karakter-karakter yang menimbulkan efek-efek permusuhan dan ketidakakraban, hingga beberapa oknum yang selalu menonjolkan keegoisan pun ada.
Aku dengan kondisi hati yang sangat sensitive ketika dihadapkan dengan orang-orang demikian. Secara tidak langsung emosiku selalu terpancing. Kadang ingin marah, kesal, ngambek dan lain sebagainya.
Allah ingin memberiku pelajaran lain melalui IMM. Tak dinyana malam itu, pukul 21.00 tanggal 4 maret 2014, salah satu patnerku datang kepadaku. Ia mengadukan semua kekesalannya pada IMM, rasa capeknya berproses, dan beberapa kondisi yang membuatnya tidak mengerti berada diposisi mana, ia adukan semuanya kepadaku. Juga tentang permasalahan-permasalahan yang ia alami karena IMM. Aku hanya mendengarkan apa yang menjadi keluh kesahnya seraya terus berpikir bagaimana mencari solusi yang baik dengan kata yang tepat dan akurat agar aku bisa membuatnya untuk tetap bertahan di IMM ini. Cukup lama aku terpekur dalam imajinasiku. Aku masih terus berpikir apa yang harus aku katakan padanya ketika dia menanyakan tanggapanku akan apa yang ia rasakan. Karena sesungguhnya permasalahannya tentang apa yang ia kesalkan sedikit banyak telah mewakili peraaanku, mewakili kejengkelanku. Aku tidak mungkin memberikannya nasihat sedagkan aku sendiripun merasakan hal yang serupa. Tapi entah kesombongan dari mana, aku ingin dia tetap menganggapku sebagai orang yang yang dapat diandalkan dan dapat dijadikan tempat untuk berbagi cerita. Maka, saat itu aku minta kepada Allah untuk memberikanku kekuatan bagaimana aku membagi sedikit kisah yang pernah aku alami dan mudah-mudahan dapat menginspirasinya untuk terus aktif di IMM ini.
Cerita terus mengalir, perbincangan ini menjadi kian seru. Lama-lama kami saling bertukar pengalaman. Dan dari sini aku lagi-lagi dapat hidayah dari Allah. Aku ingin masih berproses di IMM ini. Segala bentuk permasalahan itu pasti ada dan akan terjadi, dan itu tak akan bisa dihindari manusia. Setiap manusia yang lahir pasti membawa suatu permasalah, dan dimanapun manusia itu tinggal pasti akan melahirkan masalah-masalah yang baru, yang seharusnya diselesaikan bukan unuk dihindari. Dari sini aku belajar untuk mulai memanagement sebuah konflik, aku menjadikan konflik itu sebagai ajang untuk bisa masuk lebih dalam kedunia IMM, membuat setiap konflik yang ada menjadi peluang untukku bisa bersikap lebih dewasa lagi. Ini secara tidak langsung melatih emosiku untuk bisa meredam lebih lama dari biasa. Aku bisa menjadi orang yang sedikit lebih bisa bersabar ketika harus mengahadapi orang-orang yang memiliki karakter jauh berbeda dari karakter yang aku miliki, bersabar menghadapi masalah-masalah dalam hidupku. Dari sini aku belajar sebisa mungkin untuk mengontrol emosiku dan tidak selalu bersikap egois didepan orang-orang.
Sebenarnya masih banyak hal yang bisa aku dapatkan dari IMM ini, selain nilai intelektual yang itu menjadi sesuatu hal yang pasti aku dapatkan. Dari IMM aku belajar menjadi seorang pemimpin, seorang yang mau mendengarkan kata orang lain, seorang yang lebih menghargai fungsi telinga untuk mendengarkan alasan, argument dan pikiran serta keingininan orang lain. Aku belajar untuk menyayangi yang lebih kecil dan menghargai yang lebih tua.
Rasanya tak perlu aku berpanjang lebar menjelaskan apa manfaat yang dapat aku peroleh dari kesibukanku akhir-akhir ini. Ketika siapapun orang yang berkecimpung dalam dunia organisasi dan mereka tau bagaimana arti berproses yang sebenarnya, mereka akan lebih merasakan indahnya berorganisasi, melebihi apa yang aku rasakan.
Ada satu hal lagi manfaat dan hikmah yang dapat aku peroleh dari keaktifanku di IMM kali ini. Aku bisa lebih cepat move on dari keterpurukanku.Tapi aku tidak ingin membahas hal ini di sini. Akan ada waktu yang tepat dimana seharusnya aku mengungkapkan hal itu. Dan karena itu aku menjadi orang yang lebih dan harus bersyukur di banding sebelumnya, percaya akan rencana Allah Yang Maha Indah. Yakinlah…!!

Search

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter