Hari
ini aku berkunjung ke rumah sakit. Sengaja. Aku datang kesini karena dua
alasan, pertama karena aku ingin menengok temanku yang beberapa hari lalu
melahirkan buah hatinya, dan yang kedua mengantar saudaraku check up seperti
biasanya.
Setelah
menemani saudaraku periksa, sebut saja dia Ukas, kami melangkah ke ruang
pengambilan obat. Entahlah aku tidak tahu pasti apa nama ruangan itu, yang
jelas setelah dokter cantik itu menyodorkan selembar kertas kepada Ukas, dia
segera menarik tanganku, belum sempat aku bertanya, kami sudah berdiri didepan
antrian yang begitu panjang. Kami berdiri
cukup lama disana, aku cukup lelah berdiri sedari tadi, ku lirik sekitar
ruangan ini, sudah tak ada kursi yang kosong lagi. Akhirnya aku menemukan satu
kursi kosong bekas kakek tua, yang kira-kira usianya sudah 70 tahun. Ku suruh
Ukas untuk duduk di kursi itu, ia juga terlihat sama lelahnya seperti diriku,
tapi ia hanya menggeleng. Ku rasa Ukas takut bila harus mengantri dari awal
jika ia duduk. Akhirnya ku temukan ide.
“Bu,
permisi, boleh saya minta tolong?!” tanyaku pada seorang Ibu dibelakangku.
Dengan dress biru muda berenda yang dikenakannya, Ibu itu terlihat anggun. Senyumannya
membuat ia bak malaikat di gelapnya malam.
“Iya,
ada apa nak” jawabnya pelan. Teduh sekali mendengarnya
“Begini
Bu, kami sedang mengantri obat disini,” ku rangkul pundak Ukas. “tapi dia
sangat kelelahan berdiri disini, dan dia ingin duduk di kursi kosong itu”, ku
tunjuk satu kursi kosong dipojokan. “tapi dia takut bila dia duduk dia harus
mengantri dari awal lagi, dan saya tidak bisa menggantikan dia untuk mengantri disini, saya
harus mengunjungi teman saya yang dirawat disini juga. Jadi kalau boleh, jika
antrian didepan sudah berkurang, Ibu berkenan memanggil Ukas, agar ia bisa mengantri
lagi disini.”
“Ohh, Iyaa, silahkan, dari pada nanti tambah
sakit.” Jawaban yang aku tunggu dari tadi.
“Terima
kasih banyak Bu..” ku berikan senyum setulus hati pada Ibu itu. Dan segera
membopong tubuh Ukas mendekati kursi itu.
Tanpa
banyak basa-basi lagi, segera ku beranjak meninggalkan Ukas dan pergi menuju
kamar Melati tempat Rana dirawat. Meski hati tak tega, tapi mau bagaimana lagi,
mulut ini sudah terlanjur berjanji untuk mengunjunginya malam ini.
Sedikit
tergesa-gesa aku berlari akhirnya ku temukan juga kamar Melati. Ku lihat
temanku terbaring lemah disana. Rana masih tertidur, sungguh hati ini tak tega
bila harus membangunkannya. Ku pandangi wajahnya lamat-lamat. “Inikah wajah
seorang Ibu baru, mungkinkah suatu hari nanti aku juga mengalami masa-masa
seperti ini”. Tanyaku pada diriku sendiri. Ku sapu seluruh tubuh Rana dengan
mataku, nampak sekali ia sangat kelelahan. Prosesi kehamilan itu mungkin telah
banyak menguras tenaganya. “Tenanglah teman, Allah telah mengganti semua rasa
sakitmu dengan balasan yang jauh lebih baik di Surga sana, karena engkau telah
melahirkan seorang pemimpin yang di nanti sejuta ummat” lirih ku katakan
padanya, seraya ku belai lembut rambutnya yang kusam.
Perlahan
matanya mulai terbuka. Seulas senyum mengembang di bibirnya, tapi tetesan embun
bening keluar dari matanya. Ku pegang erat telapak tangannya, sebisa mungkin
aku mencoba menenangkannya, tapi tangisannya kian menjadi. Tak kuasa ku panggil
Ibu Tami yang sedari tadi menunggu di luar. Dengan segera ku tekan alarm yang
terhubung dengan ruang dokter. Tak berapa lama seorang dokter datang
menghampiri kami, dia meminta kami segera meninggalkan ruangan. Sedikit enggan,
meski akhirnya ku ikuti jua langkah kaki Ibu Tami. Ibu Tami bukanlah Ibu
kandung Rana, sejak kecil Rana memang tinggal bersama Ibu Tami, orang tua
kandung Rana selalu tak pernah ada di Rumah. Untuk itulah dari pada Rana harus
tinggal di rumah sendirian, ia memilih untuk tinggal bersama Ibu Tami.
Dari
luar jendela masih ku dengar rintihan Rana. Ingin sekali aku menemaninya
disana, tapi Ibu Tami menahanku. Banyak hal yang mengganggu pikiranku saat ini,
mulai dari senyum itu, air matanya hingga rintihannya saat ini. Ku langkahkan
kaki sampai depan pintu kamar Rana. Tapi tangan Ibu Tami menahanku. Sedikit tersentak,
tatapan matanya yang tajam sangat jelas melarangku membuka pintu itu.
“Sebenarnya
apa yang terjadi dengan Rana Bu” Akhirnya ku beranikan juga membuka suara
setelah hampir sepersekian detik kami sama-sama terdiam menunggu kepastian dari
dokter.
“Tunggulah
sampai dokter itu keluar”. Singkat, tapi itu cukup mampu meredam semua gemuruh
dihatiku.
Satu
detik, dua detik, tiga detik, satu menit, dua menit, lima menit berlalu sudah.
Dokter itu tak keluar juga dari kamar Rana. Aku tak mungkin lagi menunggu
disini, Ukas pasti sudah menungguku diluar sana. Sudah cukup lama aku
meninggalkannya sendirian disana.
“Bu,
maaf, aku harus pergi sekarang, saudaraku telah menungguku disana” ku tunjuk
pintu keluar. “Jika besok aku ada waktu, aku janji, aku akan mampir kesini lagi
untuk menjenguk Rana”. Ku ucapkan dengan hati-hati agar Ibu Tami tak
tersinggung.
“Pergilah!.
Bila besok kau memang ingin menjenguk Rana, datanglah seorang diri” pinta Bu
Tami. Ku balas dengan anggukan, dan segera aku berlari menghampiri Ukas.
Rupanya
Benar, Ukas sudah menungguku dengan sekantong obat di tangannya. Ku
ucapkan maaf karena sudah membuatnya
menunggu. Udara malam memang tak bagus untuk kesehatan Ukas, dan segera ku raih
tangannya hingga pertigaan jalan. Tiga menit berlalu, bus yang membawa kami datang,
segera aku dan Ukas naik. Untung masih banyak bangku yang kosong. Aku dan Ukas
duduk bersebelahan, kepalanya ia sandarkan diatas pundakku. Pikiranku masih
membayangkan keadaan Rana. “Munginkah saat ini ia masih merintih seperti saat
aku meninggalkannya tadi?, Dapatkah Bu Tami menenangkannya sendirian?, Dan kenapa
ia memintaku untuk datang kesana seorang diri? Kemudian dimana Arga sekarang?,
bukankah seharusnya ia berada di samping Rana, menenangkan dan membesarkan hati
istrinya?. Lalu bagaimana dengan orang tua kandung Rana. Tidakkah mereka merasa
kasian melihat anaknya mengalami derita ini sendirian?. Pertanyaan-pertanyaan
ini terus menari-nari di pikiranku sampai aku mengantarkan Ukas pulang ke
kontrakannya pun pertanyaan-pertanyaan ini masih bersarang di kepalaku, tak
bisa sekejappun kupejamkan mata ini. Akhirnya kuputuskan, besok sepulang kuliah
aku harus menjenguknya lagi, pertanyaan-pertanyaan ini harus mendapatkan
jawaban. Pertanyaan ini tak boleh hanya berakhir dipikiranku.
Keesokan
harinya, sepulang kuliah aku bergegas meninggalkan kelas. Ku pinjam sepeda Izee
untuk mengantarkanku ke rumah sakit. Ku beli beberapa buah tangan dan nasi
kotak untuk Bu Tami. Sesampainya di rumah sakit, dengan sedikit tergesa-gesa
aku berlari ke kamar Melati, tempat Rana di rawat. Dari balik jendela dapat ku
lihat Bu Tami membantu Rana melahap buburnya. Dari raut mukanya dapat ku tebak,
bubur itu pasti tawar, tak ada rasanya. Meski begitu Bu Tami terus saja memaksa
Rana untuk melahap habis bubur itu. Ku tahan kakiku untuk masuk ke kamar Rana.
Aku masih ingin melihat pemandangan ini, lagipula aku juga tak ingin mengganggu
keakraban mereka. Ku biarkan mereka menghabiskan waktu berdua. Aku terus
memandanginya dari luar jendela, sambil sesekali aku mengambil gambar mereka
dari kamera hp ku.
“Masuk
nak?!”. Pinta Ibu Tami setelah melihatku berdiri mematung dari luar jendela.
“Kenapa tidak langsung masuk saja, Rana baru saja makan siang”.
“Iya
Bu, saya cuma tidak ingin mengganggu Ibu dan Rana.”
Seulas
senyum mengembang dari bibir Bu Tami. Aku segera masuk menemui Rana. Dia
terlihat senang sekali dengan kedatanganku, membuatku sedikit berarti karena
hadir disini. Ku peluk Rana beberapa kali melepaskan rindu yang belum sempat
tersampaikan tiga tahun silam. Seperti pesan Bu Tami, tak sedikit pun aku
mengungkit cerita tentang keluarganya, termasuk juga suami dan anaknya. Ini
membuatku semakin bertanya-tanya, namun Bu Tami sudah berjanji padaku untuk
menceritakan semuanya. Maka demi kesembuhan Rana, ku turuti saja kemauan Bu
Tami. Saat ini Bu Tami adalah orang yang paling tahu kondisi Rana sebenarnya.
Selanjutnya
mengalirlah cerita-cerita masa putih abu-abu. Mengenang kisah bersama
teman-teman dulu. Saat mereka masih terlihat begitu lugu dan lucunya. Cerita
saat semua murid satu kelas harus mendapat hukuman dari guru BP karena sepakat
datang terlambat. Masa-masa penuh cinta, surat pemutusan cinta dari tetangga
sekolah. Semua begitu indah untuk dikenang. Ingin sekali kami mengulang
kisah-kasih di sekolah kembali. Mengulang semua kisah tanpa ada yang ingin di
rubah. Satu penyelasan yang kami alami hanya kenapa tidak pernah ada
dokumentasi untuk kisah-kisah yang telah kami lalui.
Senang
sekali melihat Rana dapat tersenyum ceria, tidak seperti kemarin saat pertama
kali aku datang mengunjunginya. “Ya Allah jaga Ranaku, apapun yang dia alami
saat ini, jadikanlah senyum itu terus mengembang di bibirnya yang indah”. Ku
panjatkan doa setulus hati karena melihat senyum Rana yang juga begitu tulus.
Sinar
emas matahari sudah lama tak terlihat lagi. Tanda hari sudah semakin malam. Dan
saatnya Rana istirahat. Rana menahan tanganku saat aku ingin berpamitan pulang.
Dengan manja ia bersandar di bahuku, ia ingin aku terus disini sampai dia
tertidur. Atas saran dokter ku ikuti kemauan Rana. Mungkin ini akan dapat
menyembuhkan luka di hatinya. Lama aku terpekur dalam pikiranku sendiri
menunggu Rana memejamkan matanya. Lima menit berlalu sudah, namun Rana tak
kunjung memejamkan matanya. Ku dekati dia, ku tanyakan padanya apa yang sedang
mengganggu pikirannya hingga ia tak dapat memejamkan matanya. Aku tahu dengan
kondisinya yang sakit, tak mungkin Rana tak dapat memejamkan matanya setelah
seharian ini aku telah mengajaknya bermain dan berbagi cerita panjang lebar,
kecuali bila ada hal yang mengganggu pikirannya yang kekuatannya dapat
mengalahkan rasa sakitnya.
“Aku
ingin sekali melihat anakku Na. Apakah ia terlihat seperti Arga?”. Ucapnya
pelan, butiran air itu keluar lagi dari matanya. Aku semakin takut kejadian
kemarin akan terulang kembali. Aku tak memiliki banyak alasan untuk dapat
menghentikan keinginannya. Tak mungkin aku membangunkan Bu Tami, ia mungkin
sudah lelah. Tak enak hati bila aku harus membuatnya terjaga dari mimpi indahnya.
“Akan
susah bila melihat anakmu sekarang. Perawat mungkin sudah menutup ruang
bayinya. Lagipula ini sudah malam, anakmu mungkin sudah terlelap”. Rana terdiam
sejenak, mungkin ia sedang mencerna kata-kataku. Dan aku berharap Rana bisa
mengerti kondisinya saat ini.
Rana
hanya mengangguk, tanda ia mengerti. Ia rebahkan posisi tubuhnya, ku tarik
selimutnya agar ia merasa hangat malam ini. Setelah ku pastikan Rana terlelap dalam
tidurnya, ku cium keningnya lembut, aku tak mau Rana terbangun lagi. Dan
bergegas pergi meninggalkan kamar Rana.
Dengan
perut yang terus bernyanyian, pikiranku masih berkutat pada keinginan Rana
sebelum ia tertidur. Begitu besarnya cinta Rana pada Arga, padahal ia tahu Arga
telah meninggalkannya. Ini membuatku teringat akan cerita Bu Tami tadi siang.
Seperti yang ia janjikan padaku kemarin, Bu Tami akan menceritakan semuanya
padaku, dan hari ini aku telah mendapatkan semua jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan yang membuatku terjaga dari tidurku semalam.
“Semuanya
berawal dari pertemuannya dengan Arga, tepatnya lima tahun silam. Rana sangat
mencintai Arga, begitu juga dengan Arga. Mereka menjalin hubungan selama hampir
dua tahun sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Pak Nilam, Ayah
Rana tak menyetujui pernikahan mereka, karena menurutnya Arga bukanlah dari
keluarga baik-baik. Paman Arga pernah menipu beberapa kolega Pak Nilam, dan
itulah yang menjadi alasan kenapa Pak Nilam tidak menyetujui pernikahan ini.
Tapi Rana tetap bersikeras menikah dengan Arga. Sekuat tenaga Arga mencoba
membuktikan cintanya pada Rana. Tapi pengorbanan yang dilakukan Arga tak
membuat hati Pak Nilam tersentuh. Akhirnya mereka memutuskan untuk menikah
tanpa sepengetahuan Pak Nilam, dan ini membuat Pak Nilam murka. Akhirnya Rana
di usir dari rumah, dan mereka menetap disini. Sejak itu Rana tak pernah lagi
pulang kerumah ataupun berhubungan dengan keluarganya. Pak Nilam pun seperti
menganggap Rana sudah tiada. Ia tak mau mendengar berita apapun tentang Rana.
Segala hal yang berhubungan dengan Rana seperti telah ia hapus dari memorinya.
Ketika Ibu mencoba menghubunginya untuk memberitahu kondisi Rana, mereka tak
mau tahu dengan kondisi Rana dan tak peduli biarpun Rana akan mati sekalipun.
Dua
tahun sudah masa pernikahan mereka, tapi mereka masih belum juga di karuniai
buah hati. Perlahan-perlahan perangai Arga mulai berubah. Ia menjadi seorang yang
temperamental, bila ada hal yang menyulut kemarahannya ia tak segan-segan
memukul Rana. Mungkin Arga sangat menginginkan seorang anak. Hingga suatu hari
berita bahagia itu datang. Rana sedang mengandung, begitu besar kebahagiaan
Arga. Ia kembali menjadi orang yang perhatian, ia jaga betul kondisi kesehatan
Rana dan calon bayinya. Setiap pulang kerja Arga selalu membawa barang-barang
untuk calon bayinya, ia cium perut Rana, di ajaknya bicara, selalu dan seperti
itu. Ini membuat Ibu dapat merasakan kebahagiaan yang mereka alami.
Tinggal
beberapa hari lagi Rana akan melahirkan. Arga sengaja mengosongkan jadwalnya
untuk menemani Rana. Tapi tak disangka, Rana tidak melahirkan bayi laki-laki
seperti keinginan Arga, Rana melahirkan bayi perempuan yang cacat. Bayi malang
itu tidak bisa mendengar, dan membuatnya juga tak bisa bicara. Arga tidak bisa
menerimanya. Arga murka dan mencaci maki Rana di depan para dokter. Selepas itu
dia pergi dan tak pernah datang lagi. Arga juga telah menjatuhkan talak satu
pada Rana. Rana shock, dan beberapa kali ia harus masuk ICU. Ibu tak tahu lagi
bagaimana cara mengembalikan semangat Rana. Ibu merasa kasian pada nasib yang
menimpa Rana. Karena itu, Ibu berterima kasih sekali Nak Mirna mau mengunjungi
dan menghibur Rana”. Kata terakhir Bu Tami membuatku bertekad ingin
mengembalikan lagi warna dalam kehidupan Rana. Ia tak seharusnya menerima
kenyataan pahit ini sendirian. Rana berhak untuk menerima kebahagiaan.
Kisah
yang dialami Rana memang begitu pahit. Aku mungkin tak akan sekuat Rana bila
harus mengalami ini sendirian, orang-orang yang dicintainya telah pergi
meninggalkannya. Mungkin, aku juga harus berterima kasih pada Rana, karena ia
memberiku pelajaran yang begitu berarti.
Ku
tenggak minuman dari gelas terakhirku tanpa ada sisa. Ku taruh beberapa lembar
uang sepuluh ribu dari kantong celanaku dan meninggalkannya diatas meja. Dan
segera aku bergegas meninggalkan Rumah Sakit ini. Aku tak mungkin lagi
berlama-lama disini, masih ada hari esok yang menungguku dengan segudang
pekerjaan yang harus aku selesaikan.
_425_