Adda yang baru lagi nih buat temen-temen. Silahkan dinikmati.
Cerita-cerita akan segera menyusul. Tentu akan ada banyak keseruan yang menanti.
Nah, dari cerita-cerita yang beruarai kalian akan dapat mengenali siapa dan bagaimana karakter penulis yang sesungguhnya.
Nantikan yaaa episode selanjutnya. Doakan semoga penulisnya bisa terus menulis dan menulis lagi. :)
Addunya mata'un,wa khaiyru mata'iha al Mar'atus Shalihah
Sabtu, 13 Desember 2014
KISAH KEMARIN
Hari
ini aku berkunjung ke rumah sakit. Sengaja. Aku datang kesini karena dua
alasan, pertama karena aku ingin menengok temanku yang beberapa hari lalu
melahirkan buah hatinya, dan yang kedua mengantar saudaraku check up seperti
biasanya.
Setelah
menemani saudaraku periksa, sebut saja dia Ukas, kami melangkah ke ruang
pengambilan obat. Entahlah aku tidak tahu pasti apa nama ruangan itu, yang
jelas setelah dokter cantik itu menyodorkan selembar kertas kepada Ukas, dia
segera menarik tanganku, belum sempat aku bertanya, kami sudah berdiri didepan
antrian yang begitu panjang. Kami berdiri
cukup lama disana, aku cukup lelah berdiri sedari tadi, ku lirik sekitar
ruangan ini, sudah tak ada kursi yang kosong lagi. Akhirnya aku menemukan satu
kursi kosong bekas kakek tua, yang kira-kira usianya sudah 70 tahun. Ku suruh
Ukas untuk duduk di kursi itu, ia juga terlihat sama lelahnya seperti diriku,
tapi ia hanya menggeleng. Ku rasa Ukas takut bila harus mengantri dari awal
jika ia duduk. Akhirnya ku temukan ide.
“Bu,
permisi, boleh saya minta tolong?!” tanyaku pada seorang Ibu dibelakangku.
Dengan dress biru muda berenda yang dikenakannya, Ibu itu terlihat anggun. Senyumannya
membuat ia bak malaikat di gelapnya malam.
“Iya,
ada apa nak” jawabnya pelan. Teduh sekali mendengarnya
“Begini
Bu, kami sedang mengantri obat disini,” ku rangkul pundak Ukas. “tapi dia
sangat kelelahan berdiri disini, dan dia ingin duduk di kursi kosong itu”, ku
tunjuk satu kursi kosong dipojokan. “tapi dia takut bila dia duduk dia harus
mengantri dari awal lagi, dan saya tidak bisa menggantikan dia untuk mengantri disini, saya
harus mengunjungi teman saya yang dirawat disini juga. Jadi kalau boleh, jika
antrian didepan sudah berkurang, Ibu berkenan memanggil Ukas, agar ia bisa mengantri
lagi disini.”
“Ohh, Iyaa, silahkan, dari pada nanti tambah
sakit.” Jawaban yang aku tunggu dari tadi.
“Terima
kasih banyak Bu..” ku berikan senyum setulus hati pada Ibu itu. Dan segera
membopong tubuh Ukas mendekati kursi itu.
Tanpa
banyak basa-basi lagi, segera ku beranjak meninggalkan Ukas dan pergi menuju
kamar Melati tempat Rana dirawat. Meski hati tak tega, tapi mau bagaimana lagi,
mulut ini sudah terlanjur berjanji untuk mengunjunginya malam ini.
Sedikit
tergesa-gesa aku berlari akhirnya ku temukan juga kamar Melati. Ku lihat
temanku terbaring lemah disana. Rana masih tertidur, sungguh hati ini tak tega
bila harus membangunkannya. Ku pandangi wajahnya lamat-lamat. “Inikah wajah
seorang Ibu baru, mungkinkah suatu hari nanti aku juga mengalami masa-masa
seperti ini”. Tanyaku pada diriku sendiri. Ku sapu seluruh tubuh Rana dengan
mataku, nampak sekali ia sangat kelelahan. Prosesi kehamilan itu mungkin telah
banyak menguras tenaganya. “Tenanglah teman, Allah telah mengganti semua rasa
sakitmu dengan balasan yang jauh lebih baik di Surga sana, karena engkau telah
melahirkan seorang pemimpin yang di nanti sejuta ummat” lirih ku katakan
padanya, seraya ku belai lembut rambutnya yang kusam.
Perlahan
matanya mulai terbuka. Seulas senyum mengembang di bibirnya, tapi tetesan embun
bening keluar dari matanya. Ku pegang erat telapak tangannya, sebisa mungkin
aku mencoba menenangkannya, tapi tangisannya kian menjadi. Tak kuasa ku panggil
Ibu Tami yang sedari tadi menunggu di luar. Dengan segera ku tekan alarm yang
terhubung dengan ruang dokter. Tak berapa lama seorang dokter datang
menghampiri kami, dia meminta kami segera meninggalkan ruangan. Sedikit enggan,
meski akhirnya ku ikuti jua langkah kaki Ibu Tami. Ibu Tami bukanlah Ibu
kandung Rana, sejak kecil Rana memang tinggal bersama Ibu Tami, orang tua
kandung Rana selalu tak pernah ada di Rumah. Untuk itulah dari pada Rana harus
tinggal di rumah sendirian, ia memilih untuk tinggal bersama Ibu Tami.
Dari
luar jendela masih ku dengar rintihan Rana. Ingin sekali aku menemaninya
disana, tapi Ibu Tami menahanku. Banyak hal yang mengganggu pikiranku saat ini,
mulai dari senyum itu, air matanya hingga rintihannya saat ini. Ku langkahkan
kaki sampai depan pintu kamar Rana. Tapi tangan Ibu Tami menahanku. Sedikit tersentak,
tatapan matanya yang tajam sangat jelas melarangku membuka pintu itu.
“Sebenarnya
apa yang terjadi dengan Rana Bu” Akhirnya ku beranikan juga membuka suara
setelah hampir sepersekian detik kami sama-sama terdiam menunggu kepastian dari
dokter.
“Tunggulah
sampai dokter itu keluar”. Singkat, tapi itu cukup mampu meredam semua gemuruh
dihatiku.
Satu
detik, dua detik, tiga detik, satu menit, dua menit, lima menit berlalu sudah.
Dokter itu tak keluar juga dari kamar Rana. Aku tak mungkin lagi menunggu
disini, Ukas pasti sudah menungguku diluar sana. Sudah cukup lama aku
meninggalkannya sendirian disana.
“Bu,
maaf, aku harus pergi sekarang, saudaraku telah menungguku disana” ku tunjuk
pintu keluar. “Jika besok aku ada waktu, aku janji, aku akan mampir kesini lagi
untuk menjenguk Rana”. Ku ucapkan dengan hati-hati agar Ibu Tami tak
tersinggung.
“Pergilah!.
Bila besok kau memang ingin menjenguk Rana, datanglah seorang diri” pinta Bu
Tami. Ku balas dengan anggukan, dan segera aku berlari menghampiri Ukas.
Rupanya
Benar, Ukas sudah menungguku dengan sekantong obat di tangannya. Ku
ucapkan maaf karena sudah membuatnya
menunggu. Udara malam memang tak bagus untuk kesehatan Ukas, dan segera ku raih
tangannya hingga pertigaan jalan. Tiga menit berlalu, bus yang membawa kami datang,
segera aku dan Ukas naik. Untung masih banyak bangku yang kosong. Aku dan Ukas
duduk bersebelahan, kepalanya ia sandarkan diatas pundakku. Pikiranku masih
membayangkan keadaan Rana. “Munginkah saat ini ia masih merintih seperti saat
aku meninggalkannya tadi?, Dapatkah Bu Tami menenangkannya sendirian?, Dan kenapa
ia memintaku untuk datang kesana seorang diri? Kemudian dimana Arga sekarang?,
bukankah seharusnya ia berada di samping Rana, menenangkan dan membesarkan hati
istrinya?. Lalu bagaimana dengan orang tua kandung Rana. Tidakkah mereka merasa
kasian melihat anaknya mengalami derita ini sendirian?. Pertanyaan-pertanyaan
ini terus menari-nari di pikiranku sampai aku mengantarkan Ukas pulang ke
kontrakannya pun pertanyaan-pertanyaan ini masih bersarang di kepalaku, tak
bisa sekejappun kupejamkan mata ini. Akhirnya kuputuskan, besok sepulang kuliah
aku harus menjenguknya lagi, pertanyaan-pertanyaan ini harus mendapatkan
jawaban. Pertanyaan ini tak boleh hanya berakhir dipikiranku.
Keesokan
harinya, sepulang kuliah aku bergegas meninggalkan kelas. Ku pinjam sepeda Izee
untuk mengantarkanku ke rumah sakit. Ku beli beberapa buah tangan dan nasi
kotak untuk Bu Tami. Sesampainya di rumah sakit, dengan sedikit tergesa-gesa
aku berlari ke kamar Melati, tempat Rana di rawat. Dari balik jendela dapat ku
lihat Bu Tami membantu Rana melahap buburnya. Dari raut mukanya dapat ku tebak,
bubur itu pasti tawar, tak ada rasanya. Meski begitu Bu Tami terus saja memaksa
Rana untuk melahap habis bubur itu. Ku tahan kakiku untuk masuk ke kamar Rana.
Aku masih ingin melihat pemandangan ini, lagipula aku juga tak ingin mengganggu
keakraban mereka. Ku biarkan mereka menghabiskan waktu berdua. Aku terus
memandanginya dari luar jendela, sambil sesekali aku mengambil gambar mereka
dari kamera hp ku.
“Masuk
nak?!”. Pinta Ibu Tami setelah melihatku berdiri mematung dari luar jendela.
“Kenapa tidak langsung masuk saja, Rana baru saja makan siang”.
“Iya
Bu, saya cuma tidak ingin mengganggu Ibu dan Rana.”
Seulas
senyum mengembang dari bibir Bu Tami. Aku segera masuk menemui Rana. Dia
terlihat senang sekali dengan kedatanganku, membuatku sedikit berarti karena
hadir disini. Ku peluk Rana beberapa kali melepaskan rindu yang belum sempat
tersampaikan tiga tahun silam. Seperti pesan Bu Tami, tak sedikit pun aku
mengungkit cerita tentang keluarganya, termasuk juga suami dan anaknya. Ini
membuatku semakin bertanya-tanya, namun Bu Tami sudah berjanji padaku untuk
menceritakan semuanya. Maka demi kesembuhan Rana, ku turuti saja kemauan Bu
Tami. Saat ini Bu Tami adalah orang yang paling tahu kondisi Rana sebenarnya.
Selanjutnya
mengalirlah cerita-cerita masa putih abu-abu. Mengenang kisah bersama
teman-teman dulu. Saat mereka masih terlihat begitu lugu dan lucunya. Cerita
saat semua murid satu kelas harus mendapat hukuman dari guru BP karena sepakat
datang terlambat. Masa-masa penuh cinta, surat pemutusan cinta dari tetangga
sekolah. Semua begitu indah untuk dikenang. Ingin sekali kami mengulang
kisah-kasih di sekolah kembali. Mengulang semua kisah tanpa ada yang ingin di
rubah. Satu penyelasan yang kami alami hanya kenapa tidak pernah ada
dokumentasi untuk kisah-kisah yang telah kami lalui.
Senang
sekali melihat Rana dapat tersenyum ceria, tidak seperti kemarin saat pertama
kali aku datang mengunjunginya. “Ya Allah jaga Ranaku, apapun yang dia alami
saat ini, jadikanlah senyum itu terus mengembang di bibirnya yang indah”. Ku
panjatkan doa setulus hati karena melihat senyum Rana yang juga begitu tulus.
Sinar
emas matahari sudah lama tak terlihat lagi. Tanda hari sudah semakin malam. Dan
saatnya Rana istirahat. Rana menahan tanganku saat aku ingin berpamitan pulang.
Dengan manja ia bersandar di bahuku, ia ingin aku terus disini sampai dia
tertidur. Atas saran dokter ku ikuti kemauan Rana. Mungkin ini akan dapat
menyembuhkan luka di hatinya. Lama aku terpekur dalam pikiranku sendiri
menunggu Rana memejamkan matanya. Lima menit berlalu sudah, namun Rana tak
kunjung memejamkan matanya. Ku dekati dia, ku tanyakan padanya apa yang sedang
mengganggu pikirannya hingga ia tak dapat memejamkan matanya. Aku tahu dengan
kondisinya yang sakit, tak mungkin Rana tak dapat memejamkan matanya setelah
seharian ini aku telah mengajaknya bermain dan berbagi cerita panjang lebar,
kecuali bila ada hal yang mengganggu pikirannya yang kekuatannya dapat
mengalahkan rasa sakitnya.
“Aku
ingin sekali melihat anakku Na. Apakah ia terlihat seperti Arga?”. Ucapnya
pelan, butiran air itu keluar lagi dari matanya. Aku semakin takut kejadian
kemarin akan terulang kembali. Aku tak memiliki banyak alasan untuk dapat
menghentikan keinginannya. Tak mungkin aku membangunkan Bu Tami, ia mungkin
sudah lelah. Tak enak hati bila aku harus membuatnya terjaga dari mimpi indahnya.
“Akan
susah bila melihat anakmu sekarang. Perawat mungkin sudah menutup ruang
bayinya. Lagipula ini sudah malam, anakmu mungkin sudah terlelap”. Rana terdiam
sejenak, mungkin ia sedang mencerna kata-kataku. Dan aku berharap Rana bisa
mengerti kondisinya saat ini.
Rana
hanya mengangguk, tanda ia mengerti. Ia rebahkan posisi tubuhnya, ku tarik
selimutnya agar ia merasa hangat malam ini. Setelah ku pastikan Rana terlelap dalam
tidurnya, ku cium keningnya lembut, aku tak mau Rana terbangun lagi. Dan
bergegas pergi meninggalkan kamar Rana.
Dengan
perut yang terus bernyanyian, pikiranku masih berkutat pada keinginan Rana
sebelum ia tertidur. Begitu besarnya cinta Rana pada Arga, padahal ia tahu Arga
telah meninggalkannya. Ini membuatku teringat akan cerita Bu Tami tadi siang.
Seperti yang ia janjikan padaku kemarin, Bu Tami akan menceritakan semuanya
padaku, dan hari ini aku telah mendapatkan semua jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan yang membuatku terjaga dari tidurku semalam.
“Semuanya
berawal dari pertemuannya dengan Arga, tepatnya lima tahun silam. Rana sangat
mencintai Arga, begitu juga dengan Arga. Mereka menjalin hubungan selama hampir
dua tahun sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Pak Nilam, Ayah
Rana tak menyetujui pernikahan mereka, karena menurutnya Arga bukanlah dari
keluarga baik-baik. Paman Arga pernah menipu beberapa kolega Pak Nilam, dan
itulah yang menjadi alasan kenapa Pak Nilam tidak menyetujui pernikahan ini.
Tapi Rana tetap bersikeras menikah dengan Arga. Sekuat tenaga Arga mencoba
membuktikan cintanya pada Rana. Tapi pengorbanan yang dilakukan Arga tak
membuat hati Pak Nilam tersentuh. Akhirnya mereka memutuskan untuk menikah
tanpa sepengetahuan Pak Nilam, dan ini membuat Pak Nilam murka. Akhirnya Rana
di usir dari rumah, dan mereka menetap disini. Sejak itu Rana tak pernah lagi
pulang kerumah ataupun berhubungan dengan keluarganya. Pak Nilam pun seperti
menganggap Rana sudah tiada. Ia tak mau mendengar berita apapun tentang Rana.
Segala hal yang berhubungan dengan Rana seperti telah ia hapus dari memorinya.
Ketika Ibu mencoba menghubunginya untuk memberitahu kondisi Rana, mereka tak
mau tahu dengan kondisi Rana dan tak peduli biarpun Rana akan mati sekalipun.
Dua
tahun sudah masa pernikahan mereka, tapi mereka masih belum juga di karuniai
buah hati. Perlahan-perlahan perangai Arga mulai berubah. Ia menjadi seorang yang
temperamental, bila ada hal yang menyulut kemarahannya ia tak segan-segan
memukul Rana. Mungkin Arga sangat menginginkan seorang anak. Hingga suatu hari
berita bahagia itu datang. Rana sedang mengandung, begitu besar kebahagiaan
Arga. Ia kembali menjadi orang yang perhatian, ia jaga betul kondisi kesehatan
Rana dan calon bayinya. Setiap pulang kerja Arga selalu membawa barang-barang
untuk calon bayinya, ia cium perut Rana, di ajaknya bicara, selalu dan seperti
itu. Ini membuat Ibu dapat merasakan kebahagiaan yang mereka alami.
Tinggal
beberapa hari lagi Rana akan melahirkan. Arga sengaja mengosongkan jadwalnya
untuk menemani Rana. Tapi tak disangka, Rana tidak melahirkan bayi laki-laki
seperti keinginan Arga, Rana melahirkan bayi perempuan yang cacat. Bayi malang
itu tidak bisa mendengar, dan membuatnya juga tak bisa bicara. Arga tidak bisa
menerimanya. Arga murka dan mencaci maki Rana di depan para dokter. Selepas itu
dia pergi dan tak pernah datang lagi. Arga juga telah menjatuhkan talak satu
pada Rana. Rana shock, dan beberapa kali ia harus masuk ICU. Ibu tak tahu lagi
bagaimana cara mengembalikan semangat Rana. Ibu merasa kasian pada nasib yang
menimpa Rana. Karena itu, Ibu berterima kasih sekali Nak Mirna mau mengunjungi
dan menghibur Rana”. Kata terakhir Bu Tami membuatku bertekad ingin
mengembalikan lagi warna dalam kehidupan Rana. Ia tak seharusnya menerima
kenyataan pahit ini sendirian. Rana berhak untuk menerima kebahagiaan.
Kisah
yang dialami Rana memang begitu pahit. Aku mungkin tak akan sekuat Rana bila
harus mengalami ini sendirian, orang-orang yang dicintainya telah pergi
meninggalkannya. Mungkin, aku juga harus berterima kasih pada Rana, karena ia
memberiku pelajaran yang begitu berarti.
Ku
tenggak minuman dari gelas terakhirku tanpa ada sisa. Ku taruh beberapa lembar
uang sepuluh ribu dari kantong celanaku dan meninggalkannya diatas meja. Dan
segera aku bergegas meninggalkan Rumah Sakit ini. Aku tak mungkin lagi
berlama-lama disini, masih ada hari esok yang menungguku dengan segudang
pekerjaan yang harus aku selesaikan.
_425_
Rabu, 02 April 2014
kenalan yuk....!!
Tak kenal maka tak sayang. Yups, benar sekali. Dan untuk itu, agar saya dan tean-teman dapat
menjalin rasa sayang (ops, rasa sayang
antar sesama saudara lho…), akan lebih jika diawali dengan perkenalan.
Sedikit kikuk bila harus
berkenalan dengan gaya bahasa yang formal.
nama: Mar’atus Sholihah dan bla.. bla.. blaa…
nama: Mar’atus Sholihah dan bla.. bla.. blaa…
Tapi mau gimana lagi,
rasanya susah bagiku untuk mengawali perkenalan dengan bahasa yang
sok lebay…
Ok. Langsung dech.,
sedikit perkenalan, my name is Mar’atus Sholihah, and I’not terorist. Lho,lho.,
kayak di film India “My Name Is Khan” tuch. Tapi bener kugh aku emang bukan teroris. Aku hanya orang islam
yang selalu mencoba memperbaiki diri. Asseeeegk….
udah yaa, perkenalanini cukup sampai disini dulu. Selanjutnya akan terus diperbaiki kugh, tenang
ajh bagi yang mau kenal dekat ama aku… (yaiks., PD abiss..; maklum)
Selasa, 01 April 2014
Arti Sebuah Air Mata
MENANGIS TANPA
ALASAN
Aku
memiliki satu teman yang suka menangis tanpa alasan, katanya. Lucu memang
kedengarannya. Tapi tak mengapa. Menangislah, menangislah sepuasmu.
Menangislah
jika itu jawaban. Menangislah jika menangis itu dapat menjadi jawaban kegundahan
hatimu.
Menangislah
jika itu melegakan. Menangislah jika menangis itu dapat melegakan hatimu.
Menangislah
jika itu jawaban. Menangislah jika dengan menangis kamu mampu mengusir semua
kepenatan hidup.
Menangislah
jika itu suatu keharusan. Menangislah jika hanya dengan tetesan air mata dapat
menyembuhkan hati yang lara.
Menangislah
jika itu peluang. Menangislah jika dengan tangisan dapat mewakili setiap rasa
di hati.
Menangislah
jika itu jawaban. Menangislah jika hanya air mata yang mampu menggantikan
untaian kata.
Menangislah
jika itu lebih baik. Menangislah jika hanya dengan tetesan air matamu dapat
menghapus dosa-dosamu.
Menangislah
jika itu jawaban. Menangislah jika dengan kekuatan tetesan air mata dapat
menggantikan semua yang hilang, dapat mengembalikan semua yang telah berlalu.
Menangislah
jika itu kekuatan. Menangislah jika setiap tangisanmu mampu menyamarkan
kerasnya hatimu.
Menangislah
jika itu suatu kesempatan. Karena hanya dengan menangis segala hal yang tidak dapat
tersampaikan oleh kata, yang tidak dapat di mengerti oleh telinga, yang tidak
dapat di pahami oleh akal dapat tersampaikan hanya karena air mata.
Menangislah
meski tanpa alasan. Karena dari rentetan air mata itulah seseorang dapat
mengetahui betapa lembutnya hatimu.
Inspired:
Seribu Bunga
Minggu, 30 Maret 2014
IMM Berproses
Ini ceritaku tentang
organisasi yang saat ini aku geluti dengan sepenuh hati, saat ini. Walaupun rasa
lelah sering kali mendera tubuh, sejauh ini aku merasa nyaman dan menikmati
semuanya dengan segala suka dukanya.
“Kamu tidak akan dapat
apa-apa di IMM ini” beberapa Alumni sering kali mengatakan kata-kata ini. Dulu
mungkin aku tidak tahu kenapa mereka, para alumni senang sekali mendengungkan
kata-kata ini. Tapi sekarang aku sadar, sadar betul. Mereka memiliki alasan
tersendiri kenapa mereka senang mengatakan kata-kata ini. Mereka tidak ingin
memberikan janji-janji yang mungkin nantinya belum tentu para kader dapatkan.
Mereka, para alumni ingin menunjukkan kenyataan kepada para kader tentang
kondisi sebuah organisasi, bahwa sebuah organisasi tidak semulus seperti dalam
bayangan mereka. Sebuah organisasi yang mengunggulkan nilai-nilai intelektual pun
tak selamanya berada dalam zona amannya, dalam artian apa yang organisasi
tonjolkan belum tentu semuanya tercapai. Begitu pula di IMM bahwa tidak semua
yang para kader cari, akan mereka dapatkan di organisasi. Dan mungkin juga
sebaliknya rasa lelah, rasa capek, kecewa, putus asa yang mungkin akan para
kader rasakan.
Pertama kali mendengar
kata-kata ini, aku sedikit berprasangka buruk dengan IMM. Mungkinkah aku masuk
di sebuah organisasi yang salah. Mereka sebagai para alumni saja mengatakan hal
yang demikian. Bukankah seharusnya mereka menunjukkan sisi positif
organisasinya agar lebih banyak orang yang bergabung. Jika mereka para alumni saja
memiliki pikiran yang demikian, lalu bagaimana dengan kader baru layaknya diriku.
“Jika kamu berproses dengan
setengah-setengah, maka hasil yang akan kamu dapat pun akan setengah-setengah.
Tapi jika kamu berproses sepenuh hati maka hasil yang kamu dapat akan sesuai
yang hatimu inginkan”. Ini kata kata salah satu alumni yang hingga kini selalu
aku banggakan. Dan karena kata-kata ini aku masih bisa terus mengikuti semua proses
dalam IMM, meskipun belum secara total.
Dan benar, kenyataan yang aku
dapat pun hanya setengah-setengah. Aku memang tidak bisa menjelaskan bagaiamana
hasilnya secara konkrit, tapi ini akan bisa dirasakan oleh mereka yang pernah
dan sedang berproses dalam organisasi, apa pun itu.
Setelah kini, aku menduduki
posisi yang cukup penting di jajaran komisariat. Mau tidak mau, senang tidak
senang. Aku diharuskan berproses secara total di IMM. Tidak ada pihak yang
memaksaku akan hal ini. Tapi entahlah, mungkin saat itu hidayah Allah sedang
turun kepadaku hingga aku berniat untuk terus mengejar ketertinggalanku di
dunia IMM ini, dan berusaha untuk tetap melakukan yang terbaik.
Kembali pada topik semula.
Ternyata apa yang didengungkan para alumni tidak selamanya benar. Aku mendapatkan
apa yang seharusnya aku butuhkan. Dari awal aku memang tidak memiliki tujuan
khusus, atau hal apapun yang ingin aku dapatkan di IMM ini. Tapi jujur aku mendapatkan
apa yang sejatinya aku harus miliki dan aku butuhkan.
Aku tipe orang yang cuek, dengan
banyaknya kader yang menjadi tanggung jawabku, secara tidak langsung aku di
tuntut untuk menjadi orang yang perhatian, paling tidak sekedar menanyakan keadaan
kader (bukan kategori yang lebay). Orang organisasi pasti paham betul dengan
hal ini. Bukan karena ingin PDKT atau lain sebagainya. Tapi ini merupakan suatu
pendekatan yang cukup manjur untuk diterapkan dalam sebuah organisasi.
Kebanyakan mereka menyebutnya pendekatan kultural. Dan karena hal ini, sedikit
demi sedikit aku belajar menjadi pribadi yang perhatian, menjadi orang yang
peduli dengan kondisi orang lain. Dengan keadaan yang seperti ini juga aku mendapatkan
pelajaran bahwa pembicaraan yang basa-basi itu juga merupakan suatu hal yang
penting, dan untuk beberapa moment basa-basi menjadi hal yang urgent untuk
diterapkan.
Tanggung jawab ini sebenarnya
sangat membebaniku. Banyaknya kader ummat yang sekarang berada dalam pundakku
membuatku ingin lari, ingin acuh tak acuh kepada mereka. Tapi gambaran jelas bagaimana
orang tuaku dengan beban yang demikian besar masih bersusah-ria merawat dan
mendidikku dan saudara-saudaraku. IMM membuka mataku untuk belajar tentang
perjuangan dan pengorbanan orang tuaku, dari mereka aku belajar tanggung jawab.
Mereka mendidikku bukan semata-mata karena rasa sayang belaka, tapi lebih
kepada karena mereka memiliki rasa tanggung jawab yang demikian besar untuk
menjadikan putra-putri berguna dan bermanfaat untuk ummat, bangsa, dan Negara.
Dan inilah wujud dari doa orang tuaku. Dengan IMM aku ingin mewujudkan doa
orang tua yang dulu tertera pada secarik kertas saat aku aqiqah. Aku mungkin
tak bisa sehebat Jokowi atau pejabat tinggi negeri ini dalam bakti kepada
Negara dan ummat, tapi setidak aku tetap bisa melakukan hal-hal yang terbaik
yang bisa aku lakukan, dan dengan tulus ikhlas menjalankannya. Setiap orang tua
pasti ingin semua anaknya berbakti dan berguna bagi masyarakat, ummat, bangsa
dan Negara. Dan ini adalah salah satu pengaplikasianku atas sebutir doa dan
impian dari orang tuaku. IMM menjadi wadah baruku untuk perwujudan doa dan
harapan orang tuaku. Dan Allah telah memberikanku pengajaran ini lewat IMM.
Aku memiliki emosi yang mudah
sekali terpancing. Walaupun tidak semuanya bisa luapkan, tapi aku tahu semua
emosi yang ada dalam hatiku, secara tidak langsung dapat terlihat dari expresi
wajahku.
Aku menghadapi banyak orang
dengan berbagai karakter. Dan hubunganku dengan mereka tidak selamanya berjalan
mulus layaknya jalan tol. Selalu dan pasti ada masalah yang terjadi, mulai dari
komuniksi yang tidak berjalan lancar, pikiran yang sering kali tidak satu
frame, juga karakter-karakter yang menimbulkan efek-efek permusuhan dan
ketidakakraban, hingga beberapa oknum yang selalu menonjolkan keegoisan pun
ada.
Aku dengan kondisi hati yang
sangat sensitive ketika dihadapkan dengan orang-orang demikian. Secara tidak
langsung emosiku selalu terpancing. Kadang ingin marah, kesal, ngambek dan lain
sebagainya.
Allah ingin memberiku
pelajaran lain melalui IMM. Tak dinyana malam itu, pukul 21.00 tanggal 4 maret
2014, salah satu patnerku datang kepadaku. Ia mengadukan semua kekesalannya
pada IMM, rasa capeknya berproses, dan beberapa kondisi yang membuatnya tidak
mengerti berada diposisi mana, ia adukan semuanya kepadaku. Juga tentang permasalahan-permasalahan
yang ia alami karena IMM. Aku hanya mendengarkan apa yang menjadi keluh kesahnya
seraya terus berpikir bagaimana mencari solusi yang baik dengan kata yang tepat
dan akurat agar aku bisa membuatnya untuk tetap bertahan di IMM ini. Cukup lama
aku terpekur dalam imajinasiku. Aku masih terus berpikir apa yang harus aku katakan
padanya ketika dia menanyakan tanggapanku akan apa yang ia rasakan. Karena sesungguhnya
permasalahannya tentang apa yang ia kesalkan sedikit banyak telah mewakili
peraaanku, mewakili kejengkelanku. Aku tidak mungkin memberikannya nasihat
sedagkan aku sendiripun merasakan hal yang serupa. Tapi entah kesombongan dari
mana, aku ingin dia tetap menganggapku sebagai orang yang yang dapat diandalkan
dan dapat dijadikan tempat untuk berbagi cerita. Maka, saat itu aku minta
kepada Allah untuk memberikanku kekuatan bagaimana aku membagi sedikit kisah yang
pernah aku alami dan mudah-mudahan dapat menginspirasinya untuk terus aktif di
IMM ini.
Cerita terus mengalir,
perbincangan ini menjadi kian seru. Lama-lama kami saling bertukar pengalaman.
Dan dari sini aku lagi-lagi dapat hidayah dari Allah. Aku ingin masih berproses
di IMM ini. Segala bentuk permasalahan itu pasti ada dan akan terjadi, dan itu
tak akan bisa dihindari manusia. Setiap manusia yang lahir pasti membawa suatu
permasalah, dan dimanapun manusia itu tinggal pasti akan melahirkan masalah-masalah
yang baru, yang seharusnya diselesaikan bukan unuk dihindari. Dari sini aku
belajar untuk mulai memanagement sebuah konflik, aku menjadikan konflik itu
sebagai ajang untuk bisa masuk lebih dalam kedunia IMM, membuat setiap konflik yang
ada menjadi peluang untukku bisa bersikap lebih dewasa lagi. Ini secara tidak
langsung melatih emosiku untuk bisa meredam lebih lama dari biasa. Aku bisa
menjadi orang yang sedikit lebih bisa bersabar ketika harus mengahadapi orang-orang
yang memiliki karakter jauh berbeda dari karakter yang aku miliki, bersabar
menghadapi masalah-masalah dalam hidupku. Dari sini aku belajar sebisa mungkin
untuk mengontrol emosiku dan tidak selalu bersikap egois didepan orang-orang.
Sebenarnya masih banyak hal
yang bisa aku dapatkan dari IMM ini, selain nilai intelektual yang itu menjadi
sesuatu hal yang pasti aku dapatkan. Dari IMM aku belajar menjadi seorang
pemimpin, seorang yang mau mendengarkan kata orang lain, seorang yang lebih
menghargai fungsi telinga untuk mendengarkan alasan, argument dan pikiran serta
keingininan orang lain. Aku belajar untuk menyayangi yang lebih kecil dan
menghargai yang lebih tua.
Rasanya tak perlu aku
berpanjang lebar menjelaskan apa manfaat yang dapat aku peroleh dari kesibukanku
akhir-akhir ini. Ketika siapapun orang yang berkecimpung dalam dunia organisasi
dan mereka tau bagaimana arti berproses yang sebenarnya, mereka akan lebih merasakan
indahnya berorganisasi, melebihi apa yang aku rasakan.
Ada satu hal lagi manfaat dan
hikmah yang dapat aku peroleh dari keaktifanku di IMM kali ini. Aku bisa lebih
cepat move on dari keterpurukanku.Tapi aku tidak ingin membahas hal ini di
sini. Akan ada waktu yang tepat dimana seharusnya aku mengungkapkan hal itu.
Dan karena itu aku menjadi orang yang lebih dan harus bersyukur di banding
sebelumnya, percaya akan rencana Allah Yang Maha Indah. Yakinlah…!!
Langganan:
Komentar (Atom)






